a. Pengertian Masyarakat Modern
Secara etimologis, kata masyarakat berarti "sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama" . Sedangkan kata modern berarti "sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman." Adapun masyarakat modern diartikan sebagai "masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas, spesialiasi di bidang industri, dan pemakaian teknologi canggih".
Terminilogi masyarakat modern tidak dapat dilepaskan dari istilah modernisasi.
Secara historis, modernisasi merupakan suatu proses perubahan yang menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 sampai abad ke-19. Sistem sosial yang baru ini kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya serta juga ke negara-negara Amerika Selatan, Asia, dan Afrika pada abad ke-19 dan 20 ini.
Ada beberapa konsep modernisasi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Soedjatmoko mendefinisikan modernisasi sebagai “menambah kemampuan suatu sistem sosial untuk menanggulangi tantangan-tantangan serta persoalan-persoalan baru yang dihadapinya, dengan penggunaan secara rasional daripada ilmu dan teknologi atas segala sumber kemampuannya.
Dalam pandangan Mukti Ali, modernisasi adalah "proses di mana rakyat dalam kulturnya sendiri menyesuaikan dirinya terhadap kebutuhan-kebutuhan waktu di mana mereka hidup." Sedangkan Koentjaraningrat mengartikan modernisasi sebagai "usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang."
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, nampak bahwa modernisasi diartikan sebagai proses perubahan dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Dengan demikian, modernisasi tidak hanya terjadi pada abad ke-20 saja tapi juga pada masa-masa sebelumnya.
Lain dari pada itu, istilah modernisasi sering diidentikkan oleh sebagian masyarakat dengan istilah westernisasi. Padahal pengertian keduanya sangat berbeda. Westernisasi, menurut Koentjaraningrat adalah :
Meniru gaya hidup Barat berarti meniru secara berlebihan gaya pakaian orang Barat dengan cara mengikuti mode yang berubah cepat ; meniru gaya bicara dan adat sopan santun pergaulan orang Barat dan seringkali ditambah dengan sikap merendahkan bahasa nasional dan adat sopan santun pergaulan Indonesia. Meniru pola-pola bergaul, pola-pola berpesta (merayakan ulang tahun), pola rekreasi dan kebiasaan-kebiasaan minum-minuman keras seperti orang Barat. Orang-orang Indonesia yang berusaha mengadaptasi gaya hidup kebarat-baratan itulah yang sebaiknya kita sebut orang yang condong ke arah westernisasi. Orang seperti itu belum tentu modern dalam arti bahwa mentalitasnya modern...
Lain dari pada itu, Faisal Ismail berpendapat bahwa :
...proses westernisasi biasanya diikuti oleh proses sekularisasi. Suatu masyarakat yang sudah terwesternisasi akan menjadi masyarakat yang sekuler di mana pandangan-pandangan dan aspirasi agama serta moral ditinggalkan dan hanya mementingkan kehidupan material, duniawi dan kebendaan. Dalam masyarakat sekuler seperti di dunia Barat nilai-nilai kerohanian, spiritual dan moral telah runtuh terdesak oleh pertimbangan dan kepentingan praktis-pragmatis dan sekularistik. Dalam kehidupan masyarakat seperti ini, aspirasi agama dan moral kurang dan bahkan tidak menjiwai proses pembangunan dan modernisasi.
Meskipun demikian, kekacauan semantik antara modernisasi dan westerisasi di tengah masyarakat tentunya tidak terjadi begitu saja tanpa sebab apapun. Dalam hal ini penulis melihat beberapa sebab yang mendorong munculnya kekacauan semantik tersebut, yaitu :
1). Sebagaimana dinyatakan oleh Soerjono Soekanto bahwa secara historis modernisasi pada saat ini, berkembang untuk pertama kalinya di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 dan ke-19, kemudian berkembang ke wilayah lain, termasuk Indonesia, pada abad ke-19 dan 20. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses modernisasi tersebut terdapat proses westernisasi. Tentunya kemampuan untuk menepis westernisasi dalam proses modernisasi hanya dapat dilakukan oleh masyarakat yang bisa membedakan mana isi dan mana wadahnya, atau dengan kata lain mana hal yang termasuk proses modernisasi dan mana hal yang termasuk westernisasi. Realitanya, sangat sulit bagi kita untuk membedakan antara keduanya. Sebagai contoh : berdasarkan pengertian westernisasi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, bahwa mengikuti gaya berpakaian orang Barat adalah salah satu bentuk westernisasi. Namun, hal tersebut tidak bisa diberlakukan secara general, sebab perubahan berpakaian masyarakat Irian Jaya dari memakai koteka menjadi memakai kemeja tidak dapat dikategorikan sebagai westernisasi, tapi lebih sesuai dikatakan sebagai proses modernisasi.
2). Sebagaimana dinyatakan oleh Koentjaraningrat bahwa modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. Artinya, setiap masyarakat yang telah hidup yang sesuai dengan zaman dan kontelasi dunia, dapat dikatakan sebagai masyarakat modern. Padahal,
Pada abad ke-20, konstelasi dunia ditentukan oleh negara-negara besar yang telah yang telah memperoleh kemajuan pesat di bidang ekonomi. ...Akan tetapi, kelihatannya, negara-negara Barat (dan Amerika Serikat) yang merupakan suatu kekuatan yang ikut menentukan konstelasi dunia dewasa ini, lebih banyak berpengaruh dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan, palintidak yang dapat dirasakan di Indonesia yang secara keras menolak dan melarang paham komunisme. Pengaruh dominan dari Barat inilah agaknya yang membawa sebagian masyarakat Indonesia yang kurang kritis telah mengasosiasikan dan bahkan mengidentikan pembangunan dan modernisasi dengan westernisasi....
Di samping dua istilah di atas, Faisal Ismail mengemukakan istilah lain yang menengahi dua istilah di atas (modernisai dan westernisasi), yaitu adaptasi budaya Barat. Menurutnya, proses adaptasi terhadap budaya Barat dapat membentuk masyarakat yang modern dan tidak terwesternisasi, karena dalam proses adaptasi terhadap budaya Barat tersebut, yaitu proses menggunakan dan mengadaptasi unsur-unsur kebudayaan Barat, kita tidak harus menjadi Barat.
Akan tetapi, permasalahan membedakan antara modernisasi, westernisasi, dan adaptasi budaya Barat menjadi semakin sulit, ketika melihat kenyataan bahwa "proses modernisasi mencakup proses yang sangat luas. Kadang-kadang batasan-batasannya tidak dapat ditetapkan secara mutlak." Sehingga bisa saja suatu hal yang saat ini dianggap sebagai westernisasi atau proses adaptasi budaya Barat di masa mendatang dipandang sebagai modernisasi, atau bahkan pada saat yang bersamaan suatu hal bisa dipandang oleh sebagian orang sebagai modernisasi ataupun adaptasi budaya Barat, akan tetapi oleh sebagian orang dipandang sebagai westernisasi. Sebagai contoh : Perpu Tentang Terorisme yang saat ini sedang digulirkan di Indonesia, oleh sebagian anggota masyarakat dipandang sebagai bagian dari proses modernisasi, karena konstelasi dunia melakukannya. Namun sebagian anggota masyarakat melihatnya sebagai proses westernisasi, sehingga mereka menentang perpu tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis membatasi pengertian masyarakat modern dalam penelitian ini sebagai masyarakat yang terwesterniasi dan tersekularisasi di tengah proses penyesuaian diri mereka dengan perkembangan dan tuntutan zaman (modernisasi). Dalam masyarakat yang penulis maksud, sebagaimana yang dipaparkan oleh Faisal Ismail, pandangan-pandangan dan aspirasi agama serta moral ditinggalkan dan hanya mementingkan kehidupan material, duniawi dan kebendaan, di mana nilai-nilai kerohanian, spiritual dan moral mereka telah runtuh terdesak oleh pertimbangan dan kepentingan praktis-pragmatis dan sekularistik
b. Ciri-Ciri Masyarakat Modern
"Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya. Mereka melangkah berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut. Inilah yang melahirkan watak dan kepribadiannya yang khas." Demikian juga dengan masyarakat modern, ia memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik masyarakat tradisonal. Ada beberapa karakteristik masyarakat modern yang dapat penulis ungkapkan di sini, sebagai berikut :
1). Rasional.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, "masyrakat modern cenderung mengatur perilaku dan menerima keyakinannya tidak lagi lewat doktrin-doktrin agama, tetapi lewat pertimbangan-pertimbangan rasional dan praktis." Hal ini juga nampak dalam pandangan mereka tentang pendidikan.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Sayyed Hossein Nasr, bahwa "manusia modern yang memberontak melawan Allah, telah menciptakan sebuah sains yang tidak berdasarkan cahaya intelek jadi berbeda dengan yang kita saksikan di dalam sains-sains Islam tradisional tetapi berdasarkan akal (reason) manusia untuk memperoleh data melalui indera."
2). Materialistis.
Masyarakat modern cenderung materialistis atau kebendaan. Artinya anggota masyarakat ini, lebih cenderung menerima hal-hal yang empiris ketimbang hal-hal yang metafisis. Bagi mereka ilmu pengatahuan yang dapat diterima adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penelitian empris dan rasional. Karakteristik ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filsafat barat yang bersifat materialistik dan turunan peradabannya pun bersifat materialistik yang menolak otoritas Tuhan yang bersifat metafisis (non-materi). Oleh sebab itu Tuhan disingkirkan dari kehidupan mereka.
Sehubungan dengan hal ini, Nasr berpendapat : "Dunia menurut manusia-manusia modern adalah dunia yang tidak memiliki dimensi transendental. Bahkan di dalam dunia yang nyata ini segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh jaring sains modern (menurut istilah yang terkenal dari Sir Arthur Eddington) secara kolektif diabaikan, dan secara 'obyektif' dinyatakan tidak ada."
Dari kutipan di atas, nampak semakin jelas bahwa dimensi transendental (ketuhanan) tidak ada dalam kamus manusia modern, bahkan segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh sains modern yang bersifat empiris, diabaikan dari pembahasan mereka dan berdasarkan batasan obyektifitas yang mereka buat dianggap tidak ada.
3). Sekularistis.
Sekularisasi dalam masyarakat modern menunjukkan lima hal ; mundurnya pengaruh agama, sekedar kompromi dengan dunia, demistifikasi atau desakralisasi dunia, ketidakterikatan (disengagement) kepada masyarakat, dan pemindahan kepercayaan/iman dan pola-pola perilaku dari suasana keagamaan ke suasana sekular.
4). Agresif terhadap kemajuan.
Karakteristik masyarakat modern yang lainnya adalah agresifitas mereka terhadap kemajuan. Didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk dan ditundukkan oleh kedigdayaan iptek yang berporos pada rasionalitas.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa ada di antara ciri-ciri masyarakat modern tersebut yang menjadi landasan bagi kemajuan umat manusia dan berdampak positif terhadap kehidupan mereka, yaitu berpikir rasional dan sikap agresif terhadap kemajuan. Kedua hal ini merupakan bekal bagi terkuaknya berbagai ilmu pengetahuan yang tidak sedikit sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Hanya saja, ketika dua hal ini tidak mengindahkan lagi nilai-nilai ajaran agama, maka akan berakibat negatif bagi kehidupan manusia. Sedangkan sikap materialistis dan sekularistis, penulis pandang sebagai dua hal yang menjadikan manusia kehilangan kesejatiannya sebagai manusia, yang terdiri dari jasmani dan rohani, dan menjadikan mereka teralienasi dari Tuhannya, yang semestinya selalu hadir dalam setiap nafas hidup mereka.
c. Berbagai Problem Mendasar Masyarakat Modern
Pergeseran kehidupan masyarakat, dari kehidupan yang sederhana (tradisional) kepada kehidupan modern tak pelak membawa manusia ke hadapan berbagai problem kehidupan, termasuk di dalamnya dalam bidang pendidikan. Dalam pandangan Nasr :
Perbenturan di antara penemuan-penemuan berserta manipulasi-manipulasi ummat manusia di dalam bentuk teknologi dengan kultur mereka, maupun efek yang mengerikan serta menghancurkan lingkungan dan aplikasi pengetahuan yang diperoleh mereka sudah sedemikian dahsyatnya, sehingga banyak pihak di dunia modern ini, terutama sekali di Barat, akhirnya mulai mempertanyakan validitas konsep manusia yang diyakini Barat sejak kebangkitan kebudayaan modern.
Dari pendapat di atas, semakin jelaslah bahwa masyarakat modern, baik di dunia Barat maupun di dunia Islam, termasuk Indonesia, menyimpan berbagai problem dalam kehidupan mereka. Di antara problem-problem masyarakat modern yang dapat penulis identifikasi dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut :
1). Manusia modern tidak memiliki horizon spritual dalam kehidupannya, bukan lantaran horizon spiritual tersebut tidak ada dalam kehidupan mereka, tapi lebih disebabkan cara pandang mereka dalam menyikapi kehidupan kontemporer saat ini. Mereka lebih cenderung memandangnya dari sudut pandang mereka sendiri dan mengabaikan sudut pandang spiritual sebagai unsurketuhanan. Dengan sikap seperti ini, tuntutan terhadap dunia pendidikan sebagai wahana yang menyediakan kebutuhan lapangan pekerjaan hanya akan didasari atas pertimbangan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh out put pendidikan dalam bidang kerja tertentu, sedangkan aspek spiritual out put pendidikan yang juga penting untuk membentuk pekerja yang agamis tidak menjadi pertimbangan.
2). Manusia modern "begitu tergila-gila pada prestasi material, sukses duniawi, efisiensi dan kesenangan dengan mengizinkan pembaharuan teknologis yang tidak terkontrol dan mengabaikan penyakit ekologi dan sosial mereka." Tanpa disadari teknologi yang telah diciptakan oleh sains modern, secara tidak langsung menjadi alat penghancur bagi kehidupan manusia, baik kehidupan sosial mereka maupun kehidupan mereka sebagai bagian dari alam semesta.
3). Suatu hal yang tak kalah pentingnya sebagai problem yang dihadapi oleh masyarakat modern dewasa ini adalah terjadinya krisis moral dan kejiwaan dalam masyarakat. Dalam "masyarakat yang tengah mengalami krisis moral dan kejiwaan akibat gelombang histeris materialisme, tidaklah menjadikan moralitas tetapi kekayaan sebagai ukuran kemuliaan dan kehormatan..." Krisis moral ini tidak hanya terjadi di kalangan generasi muda mereka, tapi lebih dari itu terjadi pula dalam dunia pendidikan mereka. Akibatnya, moralitas yang seyogyanya menjadi bagian dari orientasi pendidikan dapat terabaikan begitu saja.
Inilah beberapa problem yang dihadapi masyarakat modern yang tentunya menuntut pendidikan Islam untuk berbuat lebih, setidaknya dapat mengatasi problem-problem tersebut. Untuk itu paling tidak pendidikan Islam harus mampu memformulasikan konsep pendidikannya hingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.
Rabu, 27 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar