Rabu, 20 Januari 2010

Isu-Isu Pendidikan Dalam Mendorong Agenda Reformasi

1. Tujuan Persekolahan dan Ilmu Pendidikan yang Cocok

Pendidikan selalu menyeimbangkan beberapa tujuan yang berbeda dan sering juga tujuan yang saling bertabrakan, pertumbuhan dan perkembangan kepribadian siswa, orientasi sosial dan kewarganegaraan siswa, pengembangan siswa kejuruan dan berbagai jenis pengetahuan dan pemahaman tambahan yang mereka perlukan. Dengan begitu penyelenggara pendidikan tidak bisa dilihat sebagai bagian yang terpisah, atau hanya diisi sendiri di dalam masyarakatnya; penting bagi pendidikan untuk dipengaruhi, dan pada gilirannya mempengaruhi perkembangan di sektor ekonomi dan masyarakat secara luas. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, perubahan sosial dan ekonomi abad kesembilan belas dan abad keduapuluh, pendefinisian ulang tujuan pendidikan, terutama wajib belajar dan yang disediakan oleh masyarakat telah menjadi isu penting, pokok, dan berkelanjutan. Isu-isu tersebut pertamakalinya dilibatkan dalam jalur utama yang ditempuh oleh gerakan progresif yang dimulai di Eropa Barat dan Amerika Utara pada tahun 1890-an.

Gerakan itu memperoleh inspirasi pertama-tama dari Herbart dan Froebel, dan kemudian dari Dewey, kepercayaan luas mengenai pemikiran progresif itu diperoleh karena mencari pendidikan yang cocok dengan masyarakat ilmiah dan industri baru yang muncul di seluruh dunia sebagai dampak dari teori Darwin dan revolusi industri. Jika kita tengah sedang menciptakan suatu masyarakat baru, kesanalah argumentasi diarahkan, pendidikan memainkan peranan penting dalam bagaimana anggota-anggota baru dilantik, kapasitas dan pemahaman seperti apa yang mereka perlukan untuk dikembangkan, orientasi-orientasi seperti apa mereka perlukan dalam bertindak secara cerdas, penuh perenungan, dan kreatif. Sehingga tujuan baru persekolahan dikembangkan dari profil siswa-siswa seperti apa yang akan dimunculkan, misalnya, ingin memunculkan anggota masyarakat yang kritis, kontruktif, penuh prakarsa dan mandiri, bersedia dan mampu bekerja sama dengan orang lain dalam membentuk masyarakat baru tersebut. Dengan demikian, persekolahan mempunyai tujuan sosial yang kuat – meminjam istilah Dewey, tampilan rekontruksionis sosial.

Segaris dengan tujuan baru persekolahan ini, ilmu pendidikan yang sesuai telah ditemukan, pengenaannya terutama sekali pada tilikan dari bidang pengembangan psikologi pendidikan yang terbaru dan didasarkan pada kebutuhan seluruh siswa. Walau sebagai gerakan progresivisme selalu ditumpas dan berkali-kali kandas, luasnya konsensus merupakan bukti yang jelas dalam menempatkan siswa, dan kepentingan serta kebutuhan siswa berada pada pusat proses-proses pendidikan. Berbagai pendekatan yang berbeda-beda terhadap implikasi praktis dari ide-ide tersebut di atas telah diterapkan di sekolah-sekolah progresif di beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Disebutkan bahwa sekolah-sekolah progresif tersebut disosialisasikan dengan tokoh seperti Dewey, Declory, Kerschensteiner, Montessori, Reddie dan Neil. Ketika sekolah-sekolah tersebut ditulis secara luas, didiskusikan dalam lingkaran akademis dan pada forum-forum seperti konferensi tentang Beasiswa Pendidikan Baru ( the New Education Fellowship ) dan pada Asosiasi Pendidkan Progresif ( the Progressive Education Association )

Pendekatan progresif baru pendidikan yang berpusat siswa ( student-centred ) membawa perubahan dramatis dalam manajemen dan organisasi kelas, hubungan guru - siswa dan bahan pelajaran. Pendekatan pendidikan, atau pengajaran tradisional yang berpusat pada guru ( teacher-centred ), merupakan pendekatan pengajaran ke seluruh kelas yang selama berabad-abad ditandai oleh formalitas, keteraturan, rancangan prosedur mengajar lebih lanjut, pemindahan informasi dari sumber-sumber terpercaya kepada siswa dan menekankan perhatian pada rancangan logis materi untuk dipelajari. Sebaliknya, pendekatan baru pendidikan yang memberi andil terhadap karakteristik-karakteristik tersebut, tetapi menekankan penyelidikan, aktivitas siswa, relevansi dan luasnya keragaman dari pertumbuhan siswa. Para pelopor pembaruan yang menggabungkan guru-guru inovatif, par aorang tua, dan akademis ( Cremin, 1961). Berangkat dari pendekatan formal, kelas-kelas yang relatif besar, yang lebih beragam, pendekatan informal dan aktif akhirnya dicari.

Tantangan terhadap pencarian untuk menciptakan pendidikan di seluruh pelosok negeri sebagai dasar suatu masyarakat baru sepanjang abad ini dihadapkan pada dua situasi berbeda : pertama-tama pada iklim revolusi di Uni Soviet dan China setelah pemerintahan Komunis memegang kekuasaan, dan sekali lagi dengan kejatuhan komunis di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur pada tahun 1990-an; dan yang kedua dalam usaha pembangunan beberapa negara yang baru saja merdeka dari kekuasaan kolonial.

Pada tahun 1920-an Uni Soviet yang baru terbentuk mengalami masa percobaan pendidikan yang penting dalam usaha membangun pendidikan umum menyeluruh yang dengan bangunan pendidikan yang menyeluruh itu masyarakat komunis yang baru akan berbeda sama sekali. Adalah sebuah masyarakat di mana tidak ada model sebelumnya dan, oleh karena itu, dalam situasi pendidikan seperti itu hanya ada sedikit saja petunjuk untuk itu ( W.F.Connel, 1980 ). Sebagaimana sebuah masyarakat terdidik yang dipandang sebagai kondisi yang diperlukan untuk membangun masyarakat baru , usaha serentak untuk memberantas tingkat buta huruf digalakkan yang secara serempak diarahkan pada populasi orang dewasa dan anak-anak usia sekolah.

Keputusan eksekutif pusat pada Oktober 1918 yang menguraikan suatu pola baru tentang pendidikan umum telah mencatat bahwa basis kehidupan sekolah ditemukan pada pekerjaan yang produktif dan aktivitas kolektif. Balai latihan kerja terpadu baru yang diwajibkan dan menyeluruh dilihat dalam konteks tradisi aktivitas sekolah yang progresif, yang menyelenggarakan pendekatan-pendekatan belajar aktif untuk tenaga industri dan pertanian yang diperlukan oleh masyarakat baru tersebut. Dengan memusatkan pada sekoah tekhnik ini, pendidikan Uni Soviet yang baru dirancang untuk menghasilkan suatu kurikulum yang akan menempatkan pekerjaan produktif pada pusatnya yang dan menyediakan peluang untuk para murid agar belajar dan mengalami berbagai jenis-jenis pekerjaan dan konsekwensi- konsekwensi sosial yang muncul dalam sebuah budaya proletar. Percobaan penting berikutnya, misalnya, mengintegrasikan keseluruhan kehidupan sekolah melalui pekerjaan produktif, membangun mata rantai sekolah dengan pabrik, merumuskan workshop sekolah, metode pembelajaran terpadu yang komplek dalam ranah ilmu-ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam, memodifikasi (‘kolektif’ terpusat ) versi Dalton Plan, yang dalam banyak hal aktivitas progresif gagasan pendidikan bisa dilihat. Pada eksperimen Shatsky selama tiga puluh tahun pada the Colony of the Cheerful Life ( 1905-34 ), misalnya pekerjaan produktif, metode kegiatan, swakelola masyarakat dan kurikulum yang kompleks di mana semuanya dipraktekkan dengan efektif. Tetapi pada sepuluh tahun pertama pemerintahan Uni Soviet , tidak ada persetujuan yang luas sebagai metode terbaik untuk mencapai keberhasilan tujuan baru yang dijangkau dan para penentang percobaan tersebut secara mendadak muncul pada tahun 1930-an dengan suatu perubahan kondisi politik internal. Dalam gerakan cepat pada versi pendidikan tradisional Eropa lama yang telah dimodifikasi, pendidikan tenaga kerja menjadi subordinat pendidikan umum, yang selanjutnya digabungkan dengan gagasan-gagasan Makarenko, pendidik Ukraina, seorang tokoh yang sepanjang tahun 1920-an hingga tahun 1930-an telah dengan seksama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang praktis pada masyarakat kolektif sekalipun penguasa beberapa sekolah koloni menolak anak-anak masyarakat tersebut.

Ayunan yang tiba-tiba ke arah pendidikan yang lebih tradisional disempurnakan melalui penetapan pada Rencana Lima Tahunan yang pertama pada tahun 1928, yang mana penetapan itu merupakan yang pertama kalinya di sepanjang sejarah pendidikan, yang diselaraskan dengan rencana ekonomi nasional dan pengembangan pendidikan. Dengan demikian pendidikan menjadi tunduk kepada kepentingan ekonomi dan kepentingan perencanaan tenaga kerja, dan mengajar sains dan matematika menjadi melangkah ke depan, di mana pada lima belas tahun pendidikan Soviet yang pertama menjadi sebuah contoh klasik dari masa transisi menuju revolusioner yang dimulai dengan suatu pemutusan yang radikal dengan masa lalu dan diakhiri dengan meneruskan kembali tradisi di dalam suatu format yang diubah.

Kita sekarang ini kembali rancangan situasi kedua di mana pengembangan masyarakat baru menjadi pusatnya. Bagi sejumlah negara-negara koloni yang penting sebelumnya, yang memperoleh kemerdekaan mereka di dalam suksesi yang berdekatan dengan tahun-tahun 1950-an hingga tahun 1960-an, tempaan identitas nasional yang kuat dan mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi menjadi tujuan kunci mereka. Pendidikan dilihat sebagai salah satu kunci yang berarti mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan pendirian sekolah universal dan pemberantasan buta huruf ditargetkan sejumlah rencana pembangunan nasional lima tahunan. Ada keragaman penting dalam warisan pendidikan para penguasa kolonial, tetapi diantara warisan tersebut terdapat inti dari model sekolahan, sekalipun hanya terbatas dan tidak memadai. Di sub-Sahara Afrika , ketentuan pendidikan di zaman kolonial bagi penduduk pribumi jauh lebih rendah baik dalam mutu maupun jumlahnya, untuk itu anak-anak di negara kolonial Eropa, yang dicampur adukkan dengan mitos keunggulan ras kulit putih, diumumkan secara luas pada saat itu. Kebencian orang Afrika terhadap situasi tersebut mengambil - bagi kebanyakan orang - bentuk dengan mencari pendidikan “kebuku-bukuan” Barat yang sangat mendunia dengan maksud untuk memasuki dunia modern, menolak melalaikan tugas karena “rendahnya mutu” bahasa daerah yang digunakan dalam pendidikan, yang mana itu telah dibantah akan digunakan untuk membuat orang Afrika tetap tunduk. Sesungguhnya, hingga merdeka pemerintah-pemerintah tersebut mencari manfaat pendidikan untuk kebutuhan pembangunan nasional – mengelas negara-negara mereka yang baru itu ke dalam unit-unit politik, budaya, dan ekonomi yang efektif melalui pendidikan secara besar-besaran dan membuka pendidikan kejuruan yang tersebar luas. Para pemimpin baru menyadari perlunya perencanaan nasional yang saksama, menggemakan pengalaman Uni Soviet dalam perang Internasional selama bertahun-tahun . contoh temuan pada awal penilaian kembali terhadap tujuan pendidikan dipandang dari sudut pengalaman pada tahun-tahun pertama kemerdekaan di Afrika adalah konsep Nyerene tentang pendidikan untuk kepercayaan diri ( Education for Self-Reliance ) pada tahun 1967 yang tujuannya ingin menciptakan di dalam Republik Tanzania Serikat, suatu masyarakat sosialis yang didasarkan pada tiga prinsip; persamaan dan rasa hormat untuk martabat manusia, pembagian sumber daya yang diproduksi oleh usaha mereka sendiri, bekerja sama dengan semua orang dan tidak ada eksploitasi sama sekali (Nyerene, 1986,p.50 ). Pendidikan ditata ulang dan diorientasikan kembali pada dasarnya untuk melayani ( dan juga melanjutkan ) masyarakat pedesaan. Selagi otoritas di negara-negara selain Afrika tidak perlu menerima gagasan sosialis Nyerene dan menekankan pada pedesaan, semua negara tersebut mendapati diri mereka berusaha untuk menghubungkan pendidikan menjadi lebih dekat kepada kehidupan budaya dan ekonomi masyarakatnya.

Suatu pendekatan reformasi pendidikan yang multi-track dalam mengejar pembangunan nasional Republik Korea memberi contoh yang sangat baik. Ketika merdeka pada tahun 1945, kesempatan untuk memperoleh pendidikan terbatas hanya pada kelas sekelompok kecil masyarakat, kelas yang diistimewakan; bahasa korea tidak digunakan sebagai bahasa pengantar dalam mengajar, dan struktur pendidikan minim sekali. Undang-undang Pendidikan tahun 1945 meletakkan pondasi bagi sistem pendidikan nasional yang mencakup wajib pendidikan tingkat dasar dan memperluas kesempatan pendidikan tingkat menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan keguruan. Implementasi undang-undang tersebut disela oleh perang Korea dan digalakkan kembali ketika perang usai. Pada tahun 1959, 96 % anak-anak usia sekolah dasar masuk sekolah dan pada tahun 1960-an, enam tahun pendidikan dasar universal telah dicapai. Pada waktu yang sama, reformasi kurikulum diprioritaskan pada pendidikan kejuruan . total perubahan pelatihan guru diaktifkan pada tahun 1968, sebagai bagian dari rancangan reformasi yang baru. Dalam waktu kurang dari tiga dekade ( tidak termasuk tahun yang dihabiskan untuk perang ) sepanjang periode tahun 1945-1980, pendidikan di Republik Korea meluas secara dramatis, jumlah pendaftaran pada sekolah dasar berhasil mencapai 100 % dan tingkat menengah mencapai 90% , dan jumlah pendaftaran pada pendidikan tinggi dua kali lebih banyak, demikian juga pendaftaran pada pendidikan kejuruan.

Di luar fokus pendidikan yang sesuai dengan orang banyak masuyarakat nasional baru abad ke duapuluh telah menumbuhkan gerakan yang meusatkan diri pada pendidikan untuk masyarakat internasional dan global. Sampai saat ini hal ini belum merupakan suatu hal yang mengasyikkan sehingga dibiayai secara rasional dan menjadi sistem pendidikan diatur dengan baik, tetapi dalam jangka waktu yang panjang badan pendidik tertentu merasa terikat untuk menciptakan masyarakat internasional yang damai dan siapa yang telah membangun jaringan internasional antar siswa, para guru, prtugas administrasi, dan sekolah, dan sudah mengembangkan program-program pengajaran yang inovatif untuk kegunaan sekolah. Organisasi-organisasi intenasional, baik LSM maupun organisasi antar pemerintah, telah memainkan peran penting dalam mendukung dan melangsungkan usaha-usaha tersebut. Globalisasi yang berjalan dengan cepat sekali pada kehidupan akhir abad ke duapuluh, dari perdagangan dan industri menuju kesenangan, media dan komunikasi, secara radikal mengubah banyak aspek kehidupan sehari-hari banyak orang dan telah mendorong para pendidik untuk lebih meningkatkan penekanan pada lingkungan level dunia dan berbagai tantangan sosial, dan di luar suatu masa depan yang bisa mendukung.

Dibukanya perdebatan tentang tujuan pendidikan, dan ilmu pendidikan yang sesuai, menjadi dan tetap merupakan tantangan kunci bagi pendidikan yang diorganisir secara tradisional – suatu agenda subtansial bagi perubahan, perdebatan yang muncul dan tenggelam pada periode berbeda di sepanjang abad itu. Di akhir abad ke duapuluh gagasan yang diperdebatkan terutama sekali yang berkaitan dengan konteks tentang :

Ø Perubahan sifat pekerjaan dan berbagai peluang kerja, dan terutama tentang meluasnya sebaran dan tetap berlangsungnya pengangguran kaum muda.

Ø Ledakan pengetahuan di semua bidang ilmu yang terus berlanjut dan tantangan yang kerapkali muncul dari ketentuan-ketentuan sebelumnya

Ø Pencarian nilai-nilai budaya dan moral yang akan membantu menciptakan keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan kebebasan individu, dalam rangka menghadapi meningkatnya budaya materialistis dan lingkungan ekonomi yang kompetitif.

Ø Dasar persekolahan dipandang sebagai suatu yang minimum penting untuk dapat berpartisipasi produktif di dalam peningkatan tingkat melek huruh yang didasarkan pada ekonomi dan lingkungan kerja di seluruh dunia.

Untuk di masa depan, kombinasi dengan peluang pembelajaran-pembelajaran baru yang disajikan oleh teknologi informasi, gagasan-gagasan tersebut bisa membentuk suatu kekuatan yang regeneratif bagi model persekolahan.

2. Pemerataan Pendidikan dan Akses

Di dalam kecenderungan sosial luas menuju demokratisasi sepanjang abad ini, pendidikan dilihat sebagai salah satu alat penting untuk memberi kesempatan yang sama dan merupakan sebuah proses menjadi lebih sadar politik. Hal ini diterjemahkan dalam bidang pendidikan pertama-tama agar terbuka akses kepada ketentuan tentang pendidikan, mendorong pertumbuhan yang masif melalui banyaknya sekolah dan menyebarluaskan, dan mewajibkan sekolah dasar dan sedikit menginjak sekolah menengah, biasanya umur 14 tahun, kemudian secara berangsur-angsur wajib belajar di negara-negara lain hingga umur 15 tahun, 16 tahun dan sekarang secara efektif menjadi umur 17 dan 18 tahun. Dukungan sosial yang luas muncul demi peningkatan jumlah dalam ketentuan dan gagasan tentang hak untuk memperoleh pendidikan muncul, yang tercantum secara formal dalam Hak Azasi Manusia yang universal itu.

Masyarakat persekolahan menekankan untuk memikirkan ulang isi dan organisasi pendidikan pada tingkat sekolah dasar dan menengah, dan kemudian juga pada level pendidikan tinggi. Dengan lebih banyaknya sekelompok anak seumur yang masuk ke dalam dunia persekolahan dan tinggal lebih lama, keberadaan organisasi yang secara akademis menitikberatkan pada pengkajian, yang selama ini dirancang agar cocok untuk para elit yang diistimewakan, terutama di sekolah menengah sudah tidak lagi sesuai. Dengan demikian sepanjang kebutuhan fisik untuk menyediakan lokasi sekolah yang lebih (gedung-gedung baru, guru yang cukup dan sumber daya melimpah) memunculkan pertanyaan untuk memikirkan kembali muatan pendidikan menengah yang sesuai dengan semua pihak. Di beberapa negara, diskusi tentang masalah ini paling tidak mengarah pertama-tama pada diferensiasi ketentuan pada pendidikan tingkat menengah, yakni tipe-tipe persekolahan yang berbeda telah diciptakan. Di Inggris misalnya, program studi linguistik, teknis dan ketentuan menengah modern sedikit banyak berbeda dengan program-program studi yang harus ditempuh. Namun perbedaan status antara masing-masing jenis ketetapan sangat jelas dan menekankan persamaan kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih besar (melalui para orang tua yang ingin agar anak-anak mereka memperoleh status pendidikan tinggi, yang dirancang hanya untuk melayani proporsi kecil kelompok usia, dan melalui para pendidik yang menganjurkan bahwa kasus itu untuk sekolah pada umumnya) yang didorong gerakan dibeberapa negara untuk sekolah-sekolah dengan masukan menyeluruh. Pertanyaan tentang program-program pengajaran apa yang sesuai dengan cakupan kemampuan siswa yang lengkap dalam sekolah-sekolah semacam itu kemudian diperlukan untuk dihadapi. Sedang negara-negara yang menunjukkan jalan bervariasi bagaimana mengarahkan hal ini, kriteria yang ada diteliti secara seksama mencakup keprihatinan-keprihatinan seperti relevansi dengan kehidupan masyarakat industri ( dan kemudian post-industri ), derajat orientasi kejuruan dan tingkat keluasan program-program yang harus ditunjukkan untuk semua para siswa pada umumnya.

Bagaimanapun menjadi jelas bahwa menyediakan fasilitas menyeluruh tidak dengan sendirinya menyamakan peluang pendidikan bagi seluruh masyarakat itu sendiri, baik diskriminasi maupun harapan dikenali sebagai faktor pembatas. Ini membawa ke suatu tepi yang kontroversial kepada isu persamaan kesempatan, dengan perubahan yang diarahkan pada diskriminasi positif dan mengarahkan anggota-anggota kelompok tertentu seperti anak-anak perempuan, minoritas etnis dari anak-anak keluarga miskin, yang selagi di dalam lingkup kemampuan normal, tampil lebih rendah dari pada pendidikan normal dan harapan karier. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan sendiri tidak bisa mengganti kerugian ketidaksamaan sosial yang kadang-kadang dengan enggan dikenali itu penting, tetapi perlu bagian yang ditarik untuk dimainkan.

Alam ketepatan untuk kelompok-kelompok minoritas berbeda ditumpahkan ke dalam pertanyaan tentang perubahan alami ketetapan untuk semua siswa di dalam area-area seperti “ mengharus-utamakan” ( mainstreaming ) para siswa yang mengidap berbagai cacat dan mengembangkan program-program pendidikan multikultural demi akomodasi masyarakat yang lebih baik terhadap kelompok-kelompok budaya dan etnis minoritas. Gerakan yang menyediakan pengajaran yang lebih dalam berbagai bahasa ibu, terutama untuk anak-anak usia sekolah dasar, selama ini ditandai lebih duapuluh tahun terakhir.

Solidaritas sosial, dalam mencari mana pendidikan dari yang telah dijalankan, harus diperluas dari sesuatu yang sebagian besar sentimentil dan emosional, kepada reformasi hubungan sosial dan kondisi-kondisi kehidupan yang praktis. Dengan demikian pendidikan menjadi tak terelakkan dilibatkan di dalam program reformasi sosial secara umum ( W.F.Connel, 1980, p.91 )

Isu reformasi sosial yang lebih luas ini, bagaimanapun dan dimanapun juga tidak memecahkan dan tidak memberi inspirasi para pembaharu pendidikan yang secara tak terhindarkan akan tinggal tetap gagal sepanjang negara-negara tersebut tidak mampu, atau enggan mengejar agenda yang didasarkan pada kesamaan hak dan perbaikan sosial.

3. Kualitas Pendidikan, Pembiayaan dan Akuntabilitas

Sementara para pendidik selama ini selalu prihatin dengan outcome siswa atau apa yang sudah dipelajari para siswa, suatu keprihatinan besar mengenai mutu pendidikan telah muncul pada tahun-tahun terakhir. Dengan sistem pendidikan yang mendaftarkan lebih dari masing-masing sekelompok anak seusia dan siswa yang tetap tinggal lebih panjang di sekolah, sistem pendidikan harus menjadi persoalan pokok untuk pendanaan publik, suatu pendanaan yang terus meningkat di bawah tekanan kebutuhan yang bersaing dan di bawah penelitian cermat dari para pengawas ( watcdog ) belanja pengeluaran publik. Unsur nilai untuk uang ( value for money ) yang kuat ditandai oleh isu kualitas, sepanjang perhatian lebih besar diberikan demi kebaikan sosial bukannya individu. Dengan isu keadilan, perdebatan tentang mutu pasti berpengaruh penting pada mempolitikkan pendidikan.

Perubahan yang diperoleh dari isu tentang kualitas selama ini difokuskan pada pelurusan fungsi sistem pendidikan, pada rancangan standar prestasi, pada pencapaian efisiensi, pada perhatian untuk mengukur ( dan sering juga menstandardisasi ) apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah ( yang sering kali dalam usaha untuk menyerang apa yang dianggap sebagai kegagalan sekolah ) dan pada peningkatan efektivitas guru. Di mana kebebasan yang lebih besar untuk pengambilan keputusan diberikan ( seperti pada tingkat sekolah yang mengikuti desentralisasi ), gerak dan struktur demi akuntabilitas haruslah diikuti.

Pada isu tentang apa yang dimaksud dengan kualitas dalam hubungannya dengan pendidikan ( berkualitas buat siapa dan tentang apa ) dan apakah proses yang diusulkan untuk membantu perkembangannya benar-benar mendukungnya, atau telah terbukti counter-productive, terutama mengenai profesionalisme guru. Isu kualitas tetap problematis . pertanyaan masih menjadi perdebatan adalah apakah rata-rata yang diadopsi untuk mengukur dan maningkatkan mutu akan sungguh-sungguh mencapai hasil yang diinginkan dan sedemikian rupa tanpa memaksakan batasan-batasan baru yang fantastis dan biaya-biaya yang memberatkan. Keinginan untuk meningkatkan mutu disetujui secara luas, tetapi bagaimana cara terbaik untuk melakukannya ? tergantung pada banyak faktor, beberapa diantara faktor yang sangat spesifik tidak hanya ada pada negara-negara itu sendiri tetapi juga pada aspek tertentu dari sistem itu sendiri.

Tidak ada komentar: