Rabu, 27 Januari 2010

Pengaruh Komunikasi Keluarga terhadap Tingkat Sosial Anak

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kebahagiaan paling mendalam, semangat paling hebat, dan ketenangan jiwa paling terasa akan diperoleh seorang anak dari keluarganya yang penuh dengan kasih sayang, sebab kasih sayang yang diperoleh dari keluarga laksana tetesan embun di tengah padang pasir bagi seorang musafir yang telah lama dalam perjalanan. Anak yang hidup tanpa kasih sayang yang tulus dari orang tuanya tidak akan merasakan kedamaian dan ketenangan dalam hidupnya.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap keluarga memikul tanggung jawab terhadap keselamatan, ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup setiap anggotanya. Pendidikan pertama diperoleh seorang anak dari orang tuanya. Dengan orang tuanyalah seseorang anak memulai interaksi dan komunikasinya.
Komunikasi merupakan hal penting dalam kehidupan individu untuk berinteraksi dengan lingkungannya. “ Dalam dunia modern komunikasi bukan saja mendasari interaksi sosial. Teknologi komunikasi telah berkembang pesat begitu rupa sehingga tidak ada satu masyarakatpun yang mampu bertahan tanpa komunikasi. “ Bayi yang baru lahir sekalipun sudah memerlukan komunikasi untuk menyampaikan apa yang ia ingin dan perlukan melalui tangisan. Dengan tangisanlah ia menyampaikan pesan bahwa ia haus, lapar, sakit, ataupun hanya sekedar ingin dibelai oleh ibunya.
Percakapan yang hangat antara anak dan orang tua mempunyai arti dan kebahagiaan yang penting bagi seorang anak. Senyum orang tua jika anak berbuat baik dapat membuat anak termotivasi untuk selalu berbuat baik. Cerita-cerita anak jika didengarkan dengan baik akan menjadikan anak lebih bersikap terbuka dan merasa dirinya dihargai. Penghargaan akan sangat penting artinya bagi seorang anak untuk menumbuhkan sikap percaya diri anak. “ Percaya diri merupakan salah satu ciri atau karakteristik utama dari pribadi yang sukses. “
Ada jutaan keluarga yang para anggotanya kelihatan dapat bergaul rukun, tetapi hanya karena menghindari pengungkapan perasaan terbuka dan apa adanya, maka para anggota keluarga tersebut tidak dapat benar-benar saling mengenal satu sama lain. Dengan demikian, mereka tidak bisa mengalami keindahan dari keakraban dan persatuan yang berasal dari komunikasi yang terbuka, jujur dan konstruktif. Bahkan dalam banyak keluarga yang cukup rukun pun sering terjadi kesalah pahaman dan hal yang menyakitkan hati, sehingga kegembiraan dan kepuasan dalam hidup terganggu.
Dari uraian di atas, dapat terlihat betapa pentingnya terciptanya suasana komunikatif dalam keluarga, sehingga anak akan merasa keluarga adalah istana, harta dan puisi yang paling indah. Juga sesuatu yang terpenting dalam hidupnya.
Adapun yang penulis jadikan latar belakang masalah adalah hubungan komunikasi keluarga dengan sikap sosial anak. Latar belakang inilah yang mendorong penulis untuk menggali dan membahas judul skripsi ini, yaitu: “ Pengaruh Komunikasi Keluarga Terhadap Sikap Sosial Anak

B. Alasan Pemilihan Judul
Beberapa alasan yang mendorong penulis untuk membahas masalah pengaruh komunikasi keluarga terhadap sikap sosial anak, adalah sebagai berikut:
1. Sikap sosial perlu dibentuk semenjak masa kanak-kanak untuk bekal kehidupan masa remaja dan dewasa.
2. Banyaknya masalah keluarga yang disebabkan oleh komunikasi yang buruk.
3. Tingkat kebutuhan hidup yang semakin kompleks membuat orang tua pusing memikirkan ekonomi keluarga, sehingga komunikasi dalam keluarga ikut terganggu.
4. Anak yang dibesarkan dalam ketidak harmonisan keluarga mudah dipengaruhi hal-hal yang negatif.



C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat permasalahan yang ada kaitannya dengan komunikasi dan sikap sosial sangat luas sekali, maka penulis membatasi masalah tersebut sebagai berikut :
a. Komunikasi yang dimaksud adalah kontak antara anak dan orang tua atau keluarga dekat serta antara anak dengan teman-temannya.
b. Orang tua adalah bapak dan ibu yang bertanggung jawab memelihara dan mengasuh anak yang bersekolah
c. Anak dalam pembahasan skripsi ini adalah keturunan dari orang tua yang berusia SD ( usia 6-12 tahun )
2. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan, penulis memberikan perumusan masalah yaitu “ adakah pengaruh yang signifikan antara komunikasi keluarga dengan sikap sosial anak ? “

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara global tentang penulisan skripsi ini dan merupakan rangkaian apa saja yang akan diuraikan nantinya, sehingga diharapkan dapat mempermudah pembaca dalam mengikuti tahapan pembahasannya. Susunan penulisan skripsi ini diuraikan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini akan diuraikan latar belakang masalah, alasan pemilihan judul, pembatasan dan perumusan masalah, serta sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian komunikasi keluarga, proses komunikasi keluarga, urgensi dan tujuan komunikasi keluarga, hambatan-hambatan dan usaha-usaha untuk menciptakan suasana komunikatif dan sikap sosial yang meliputi perkembangan sikap sosial anak, peranan keluarga terhadap perkembangan sosial anak, arti pergaulan dan teman bagi anak.
BAB III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini diuraikan metodologi penelitian, variabel penelitian, definisi operasional variabel, waktu dan tempat penelitian, populasi dan sampel penelitian, tekhnik pengumpulan data, dan tekhnik pengolahan data dan interprestasi data.
BAB IV : Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan dibahas tentang gambaran umum tempat penelitian , tingkat komunikasi keluarga dan sikap sosial anak di Wilayah Rt 12/02 Kelurahan Meruya Kembangan Jakarta Barat, analisis dan interprestasi data.
BAB V : Penutup
Pada bab ini penulis memberikan kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian sesuai dengan apa yang dirumuskan beserta saran-saran guna memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Komunikasi Keluarga
1. Pengertian Komunikasi Keluarga
Secara etimologi atau menurut asal katanya istilah komunikasi berasal dari perkataan bahasa Inggris “ Communication “ yang bersumber dari kata lain “ Communicatio “ yang berarti pemberitahuan atau pertukaran pikiran. Makna hakiki dari communicatio ini adalah communis yang berarti sama, jelasnya kesamaan arti. Perkataan communis tersebut dalam pembahasan ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan partai komunis yang sering dijumpai dalam kegiatan politik.
Jadi komunikasi berlangsung apabila orang –orang yang terlibat dalam komunikasi harus terdapat kesamaan arti atau makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan. Jelasnya, jika seseorang mengerti tentang sesuatu hal yang dikemukakan orang lain kepadanya, maka komunikasi berlangsung. Hal ini bukan berarti kedua belah pihak harus menyetujui sesuatu gagasan tersebut. Yang penting adalah kedua belah pihak sama-sama mengerti gagasan tersebut.
Dari tinjauan terhadap komunikasi secara etimologis tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa :
a. Komunikasi paling sedikit meliputi tiga komponen yaitu, komunikator, komunikan dan isi komunikasi.
b. Pesan komunikasi harus sama-sama dimengerti oleh komunikator dan komunikan.
Sedangkan secara istilah, mengenai definisi komunikasi berbeda-beda tergantung dari sudut pandang orang yang mendefinisikannya. Menurut Onong Uchjana dalam buku “komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain “. Dari pengertian ini menunjukkan bahwa komunikasi melibatkan sejumlah orang.
James G.Robbins dan Barbara S.Jones mendefinisikan komunikasi sebagai “ suatu tingkah laku, perbuatan atau kegiatan penyampaian atau pengoperan lambang-lambang yang mengandung arti atau makna. Atau perbuatan penyampaian suatu gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lainnya. Atau lebih jelasnya, suatu pemindahan atau penyampaian informasi mengenai pikiran dan perasaan-perasaan “.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi artinya “pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara 2 orang atau lebih sehingga pesan yang diterima dapat dipahami. “
Sven Wahlroos,mendefinisikan komunikasi sebagai “ semua perilaku yang membawa pesan yang diterima oleh orang lain. Perilaku itu bisa verbal atau non verbal. Semua itu masih merupakan komunikasi sejauh membawa pesan “. Jadi jika pesan diterima oleh orang lain, baik disengaja maupun tidak disengaja maka sebenarnya juga telah terjadi komunikasi. Tanpa adanya pesan yang diterima maka komunikasi tidak akan terjadi.
A. Supratiknya membagi arti komunikasi secara luas dan secara sempit. Menurutnya secara luas komunikasi adalah “ setiap bentuk tingkah laku seseorang baik verbal maupun non verbal yang ditanggapi oleh orang lain. Sedangkan secara sempit komunikasi diartikan sebagai pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk mempengaruhi tingkah laku sipenerima “. Sebagai contoh yaitu iklan produk tertentu yang ditayangkan ditelevisi yang secara sadar dimaksudkan untuk emmpengaruhi pemirsa televisi. Komunikasi yang digunakan ada yang merupakan komunikasi verbal yang merupakan kata-kata dan ada yang menggunakan lambang seperti gambar-gambar dan ada pula yang berupa mimik wajah yang merupakan komunikasi non verbal.
Smith Braler dan Sim seperti dikutip oleh Sanapiah S.Faisal menyatakan bahwa komunikasi adalah “ proses di mana sebuah pesan (berita) yang meliputi seperangkat arti disampaikan kepada seseorang atau banyak orang dengan jelas sehingga arti yang diterima sama dengan arti yang dimaksudkan oleh sipenyampai pesan ( berita ) itu.”
Col in Cherry merumuskan komunikasi sebagai pembentukan satuan sosial yang terdiri dari individu-individu melalui penggunaan bahasa dan tanda.
Para ahli komunikasi memberikan batasan-batasan pengertian dan definisi komunikasi antara lain :
a. James Afstoner, dalam bukunya yang berjudul manajemen, menyebutkan bahwa komunikasi adalah proses di mana seseorang berusaha memberikan pengertian dengan cara pemindahan pesan.
b. John R.Schemerhorn Cs, dalam bukunya yang berjudul, Managing Organization Behavior, menyatakan bahwa komunikasi itu dapat diartikan sebagai proses antar pribadi dalam mengirim dan menerima simbol-simbol yang berarti bagi kepentingan mereka.
c. Lalilliam F.Glueck, dalam bukunya yangberjudul, Manajemen menyatakan bahwa komunikasi dapat dibagi dalam dua bagian utama yaitu :
1). Interpersonal Communications, komunikasi antar pribadi yaitu proses pertukaran informasi seta pemindahan pengertian antara dua orang atau lebih di dalam suatu kelompok kecil manusia.
2). Organizational Communications, yaitu di mana pembicara secara sistematis memberikan informasi dan memindahkan pengertian kepada orang banyak di dalam organisasi dan kepada pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga di luar yang ada hubungan.

Sedangkan pengertian keluarga menurut etimologi yaitu, keluarga berasal dari kata “ Kula “ dan “ Warga “. Kula artinya famili dan warga artinya anggota. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, keluarga adalah “Ibu, Bapak dengan anak-anaknya. “
Ali Akbar dalam bukunya yang berjudul “ Merawat Cinta Kasih “ menyatakan bahwa “ keluarga adalah masyarakat terkecil yang sekurang-kurangnya terdiri dari pasangan suami istri sebagai anggota inti, berikut anak (anak-anak) yang lahir dari mereka. Jadi, setidak-tidaknya anggota keluarga adalah sepasang suami istri bila belum ada anak atau tidak punya anak sama sekali. “
Definisi keluarga menurut Abu Ahmadi adalah “ kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan laki-laki dan wanita, perhubungan di mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak-anak.”
Sc.Utami Munandar mengartikan keluarga dalam arti sempit sebagai “keluarga inti yang merupakan kelompok sosial terkecil dari masyarakat yang terbentuk berdasarkan pernikahan dan terdiri dari seorang suami ( ayah ), istri ( ibu ) dan anak-anak mereka.”
Keluarga itu tentunya terbentuk dari perkawinan dan pernikahan. Wanita dan pria yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan tidaklah disebut keluarga. Oleh sebab itu perkawinan diperlukan untuk membentuk keluarga.
Berdasarkan pengertian komunikasi dan keluarga di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi keluarga adalah proses berbagai atau menggunakan informasi secara bersama antara orang tua dan anak, sehingga akan menimbulkan pengertian yang mendalam karena komunikasi dalam keluarga memegang peranan yang sangat penting, maka hal ini tidak boleh dianggap sederhana, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an,yang
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “ ( Q.S.At-Taghabun/64 :14 )

Dari ayat di atas dapat diambil pelajaran bahwa dalam suatu keluarga dapat terjadi perselisihan dan permusuhan, hal ini bisa terjadi jika tidak adanya saling pengertian dan komunikasi yang baik. Antara sesama anggota keluarga harus ada pengertian yang mendalam.
Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam telah banyak memberikan pelajaran tentang komunikasi yang baik, berikut ini sebuah contoh komunikasi yang baik menurut Al-Qur’an sehingga dapat menjadi pelajaran,
Artinya : ” Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". “( Q.S.Ash-Shafaat/37 :102 )

Dari arti ayat di atas, jelas terlihat adanya komunikasi dua arah yang sangat harmonis antara bapak dan anak. Untuk melakukan sesuatu Nbi Ibrahim selalu mendiskusikannya kepada Ismail anaknya dan ia memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengungkapkan pendapat anaknya. Hal ini menggambarkan suasana yang sangat demokratis dalam suatu keluarga sehingga komunikasi tidak hanya terjadi satu arah saja. Dalam dialog itu juga bahasa yang digunakan sangat indah, hal ini menggambarkan adanya saling menghormati dan menghargai antara sesama anggota keluarga sehingga menimbulkan pengertian yang mendalam dan perselisihan dapat dihindari.
2. Proses Komunikasi dalam Keluarga
Dari pengertian komunikasi keluarga di atas, tampak adanya sejumlah unsur atau komponen yang dicakup yang merupakan persyaratan dalam proses terjadinya komunikasi. Dalam bahasa komunikasi komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan
b. Pesan, yaitu pernyataan yang didukung oleh lambang
c. Komunikan, adalah orang yang menerima pesan
d. Media, yaitu sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya
e. Efek, yaitu dampak sebagai pengaruh dari pesan.
Ada dua cara untuk mengkomunikasikan sesuatu yaitu dengan komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan simbol-simbol atau kata-kata, baik yang dinyatakan secara lisan atau tulisan, komunikasi verbal merupakan karakteristik khusus dari manusia. Tidak ada makhluk lain yang dapat menyampaikan bermacam-macam arti melalui kata-kata, kata-kata dapat dimanipulasi untuk menyampaiakan secara eksplisit sejumlah arti.
Sedangkan komunikasi non verbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata seperti komunikasi yang menggunakan gerakan tubuh, sikap tubuh, vokal yang bukan kata-kata, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak dan sentuhan. Dengan komunikasi non verbal orang dapat mengekspresikan perasaannya melalui ekspresi wajah dan nada atau kecepatan berbicara. Kadang-kadang komunikasi non verbal lebih efektif untuk mengungkapkan perasaan.
3. Urgensi dan Tujuan Komunikasi Keluarga
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak bisa mengesampingkan keberadaan orang-orang di sekitar kita, dalam banyak hal kita memerlukan orang lain, demikian pula orang lain terhadap kita. Dalam kehidupan sehari-hari, aktifitas seseorang pasti melibatkan lingkungannya meskipun tidak secara langsung, bahkan keterlibatan tersebut memang merupakan kebutuhan.
Salah satu bentuk kebutuhan untuk melibatkan lingkungan adalah adanya kebutuhan untuk berkomunikasi. kebutuhan untuk berkomunikasi merupakan kebutuhan vital dalam kehidupan manusia. Betapa tidak, untuk berhubungan dengan orang lain dibutuhkan komunikasi, pada saat tertentu seseorang perlu bercakap-cakap dengan orang lain dalam suasana santai di mana ia dapat bercerita sepuas hatinya mengenai berbagai hal. Dengan demikian diperlukan seseorang yang bersedia mendengarkan, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan yang dikemukakan dengan penuh perhatian.
Pada umunya para orang tua menyadari bahwa dalam interaksi manusia, seseorang tidak dapat tetap diam dalam waktu lama, orang menginginkan semacam interaksi verbal. Jelaslah bahwa orang tua harus berbicara dengan anak-anak dan anak-anak butuh berbicara dengan orang tua, bila mereka menghendaki hubungan yang erat.
“ Seorang anak yang di rumah tidak biasa bercakap-cakap, kurang belajar berkomunikasi, biasanya akan malu-malu dan menarik diri bila ia berhadapan dengan orang lain. Ia pun kurang mempunyai kepekaan terhadap sikap orang lain, ia tidak belajar bagaimana harus bereaksi terhadap sikap orang yang berbeda-beda.”
Tanpa adanya komunikasi dengan anak, orang tua menjadi kurang tanggap akan kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan yang ada pada anak. Orang tua tidak tahu sejauh mana perkembangan anak. Anak pun akan merasa keberadaannya diabaikan dan tidak dihargai. Hal ini akan menimbulkan permasalahan lain bagi suatu keluarga.
Komunikasi antar pribadi sangat penting bagi kebahagiaan hidup kita. Menurut Johnson seperti yang dikutip oleh A.Suplatiknya, menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antar pribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia yaitu :
a. Komunikasi antar pribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin luasnya ketergantungan kita kepada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan proses itu, perkembangan intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain itu.
b. Identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain itu tentang diri kita. Berkat pertolongan komunikasi dengan oran lain kita dapat menemukan jati diri yaitu mengetahui siapa diri kita sebenarnya.
c. Dalam rangka memahami realitas di sekitar kita serta menguji kebenaran kesan-kesandan pengertian yang kita miliki tentang dunia sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama.
d. Kesehatan mental kita juga sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, bila hubungan kita dengan orang lain mengalami berbagai masalah, maka kita tentu akan menderita, cemas. Sedih dan frustasi.

Dengan komunikasi seseorang dapat menyampaikan informasi, ide ataupun pemikiran, pengetahuan, konsep dan lain-lain kepada orang lain secara timbal balik, baik sebagai penyampai maupun sebagai penerima komunikasi. Dengan komunikasi manusia dapat berkembang dan dapat melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Tujuan mengadakan komunikasi itu bermacam-macam, tetapi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu untuk memberikan informasi dan untuk memberikan motivasi.
Tujuan informasi untuk mengubah konsep-konsep yang ada pada penerima informasi ( apa yang ia ketahui selama ini ). Sedangkan fungsi motivasi dimaksudkan untuk menimbulkan perubahan pada kecenderungan atau perasaan si penerima informasi. Orang tua tidak hanya sekedar memberikan informasi kepada anaknya tentang kenyataan-kenyataan dari kehidupan. Orang tua itu juga akan berusaha untuk mempengaruhi sikap si anak terhadap moralitas di samping untuk memperluas pengetahuan si anak.
Menurut AW.Widjaya, pada umumnya komunikasi dapat mempunyai beberapa tujuan, antara lain :
1. Supaya yang kita sampaikan dapat dimengerti
2. Memahami orang lain, antara sesama anggota keluarga harus mengetahui benar apa yang dikehendaki anggota keluarga lainnya.
3. Supaya gagasan kita diterima orang lain
4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu.
Harold Lasswell seperti dikutip oleh Abdillah Hanafi, yang ahli ilmu politik dan seorang pioner dalam kajian komunikasi, menyebut ada tiga fungsi sosial komunikasi :
1. Menjaga lingkungan
2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisah dari masyarakat untuk menanggapi lingkungan.
3. Menurunkan warisan sosial dari generasi satu ke generasi berikutnya.
Jelaslah bahwa komunikasi yang baik dalam sebuah keluarga sangatlah penting, dengan demikian maka konflik antara sesama anggota keluarga dapat diminimalisasikan dan masing-masing memahami sikap anggota keluarga lainnya.

4. Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Keluarga
Seperti telah disinggung di atas, ada beberapa hal yang bisa dicapai dengan adanya komunikasi, yaitu adanya perhatian, pengertian, penerimaan, ataupun tindakan di antara pihak-pihak yang melakukan komunikasi. Secara umum, komunikasi bisa dikatakan gagal bila tujuan yang ingin dicapai dari adanya komunikasi tersebut tidak bisa terpenuhi.
“ Tidak tercapainya tujuan komunikasi dimungkinkan oleh banyak hal, antar lain : suasana hati, perbedaan persepsi, kecenderungan hanya memperhatikan hal-hal yang diharapkan, penilaian terhadap sumber informasi, mengesampingkan hal-hal yang tidak ingin didengar, alat atau cara komunikasi yang tidak tepat, atau gangguan dari luar ( misal : suara gaduh).”
Kadang-kadang kesibukan orang tua dan banyaknya masalah yang dihadapi, perhatian terhadap anak jadi berkurang. Kalau setiap saat anak mau menceritakan sesuatu tidak diperhatikan atau dibantah, akibatnya anak tidak mau lagi bercerita. Lama kelamaan akan timbul gangguan pada anak. Ia akan menutup diri terhadap orang tuanya, sehingga komunikasi antara orang tua dan anakpun jadi terhambat. Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak ini biasanya akan menyebabkan anak bertingkah laku agresif dan sukar mengadakan kontak dengan orang tuanya.

Dalam kenyataan sehari-hari, komunikasi dalam keluarga sering tidak mencapai harapan disebabkan hal-hal di atas. Seorang ayah pulang dari kantor dengan hati kesal karena ada masalah di kantor dengan atasannya, sesampainya di rumah anaknya melaporkan hasil ulangannya yang tidak memuaskannya, karena masih kesal dengan kejadian di kantor, ayah marah-marah dan mengatakan anaknya bodoh, malas dan sebagainya. Akibatnya anak semakin tidak puas dan takut untuk membicarakan permasalahan yang ia temui yang ia tidak dapat memecahkannya sendiri, pada hal ia perlu saran dan dorongan dari orang yang lebih dewasa.
Kegagalan dalam komunikasi ini dapat pula terjadi bila orang tua terlalu kukuh pada pendapatnya sendiri. Jika setiap kali mengemukakan sesuatu selalu mendapat bantahan atau kritikan dari orang tuanya, lama-lama anak tidak mau lagi mengajukan pendapatnya.
Menurut Hasan Basri, secara umum sumber penyebab terjadinya kegagalan-kegagalan komunikasi ada tujuh yaitu :
a. Di laksanakan dengan tergesa-gesa
b. Sewaktu pelaksanaan pikirannya sedang kacau
c. Perasaan sedang terganggu ( emosional )
d. Kesehatan kurang / tidak baik
e. Berprasangka
f. Kurang atau tidak baik dalam bahasa
g. Mau menang sendiri.

Sedangkan menurut Drs.Matindas, seperti dikutip oleh Alex Sobur, “ada banyak hal yang dapat menghambat suatu komunikasi, diantaranya yang paling sering terjadi adalah kesalahan penafsiran. Salah penafsiran ini umumnya disebabkan oleh adanya kata-kata yang mempunyai arti ganda.”
Selain diperlukannya upaya guna menghindari salah paham, perlu juga diusahakan agar komunikasi berlangsung secara kontruktif. Kontruktif tidaknya suatu komunikasi ditentukan oleh menyenangkan tidaknya cara pesan itu disampaikan.
5. Usaha-usaha untuk Menciptakan Suasana Komunikatif
Barang kali orang tua mengira sudah cukup berkomunikasi dengan anak-anaknya. Bukankah setiap orang tua hampir tidak pernah kekurangan kata-kata yang dilontarkan kepada anak-anaknya. Namun komunikasi yang baik tidak dapat diukur dengan kata-kata yang diucapkan. Komunikasi memerlukan usaha, pengertian serta latihan banyak.
Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama menciptakan komunikasi antara orang tua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan di antara anggota keluarga. Bagaimanapun juga tak seorang pun dapat menjalin komunikasi dengan anak bila mereka tak pernah bertemu ataupun bercakap-cakap bersama. Bagaimanapun sibuknya orang tua bekerja, mereka harus menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya misalnya saat menonton televisi bersama di hari libur, saat makan malam bersama atau selesai shalat subuh berjamaah. Saat-saat seperti inilah suasana komunikatif antara orang tua dan anak dapat tercipta meskipun dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jadi kualitas pertemuan itulah yang terpenting bukan lamanya waktu pertemuan tersebut.
Ada tiga resep yang mendasar untuk mengadakan komunikasi yang efektif dengan anak dan merupakan kunci bagi keberhasilan membina keakraban dengan anak “pertama, mencintai anak tanpa pamrih dan sepenuh hati, kedua memahami sifat dan perkembangan anak dan mau mendengarkan mereka, ketiga menciptakan suasana yang menyegarkan.”27
Jika ada orang tua mengeluh bahwa anak-anak mereka tidak pernah membicarakan masalah-masalah serius di rumah. Biasanya ternyata bahwa masalah-masalah tersebut sudah dikemukakan dengan hati-hati dan ragu-ragu oleh anak, tetapi orang tua menanggapinya dengan cara mengajarinya, memberi peringatan, menilai dan megalihkan perhatian. Lambat laun anak akan memisahkan diri dan menutup diri pada orang tuanya. Orang tua biasanya tidak mendengarkan, mereka hanya mengajar, membenarkan, mencela dan mengejek pesan-pesan anak yang tengah tumbuh.
Menurut Thomas Gordon, “ Salah satu cara efektif dan konstruktif dalam menghadapi ungkapan perasaan atau ungkapan persoalan anak-anak adalah membuka pintu atau mengundang berbicara lebih banyak.”
Menurut Dr.Haim G.Ginott dalam bukunya “ Betwen Parent and Child“ yang dikutip oleh Alex Sobur mengemukakan bahwa, cara baru berkomunikasi dengan anak harus berdasarkan sikap menghormati dan keterampilan. Hal ini mengandung dua arti :
1. Tegur sapa, tidak boleh melukai harga diri anak maupun orang tua
2. Terlebih dahulu orang tua harus menunjukkan pengertian kepada anak, baru kemudian memberikan nasehat atau perintah.
Makan bersama merupakan kesempatan emas untuk melibatkan anak dalam percakapan, memperakrab hubungan dan menanamkan nilai-nilai kebersamaan kepada anak. Bagi anak-anak makan bersama merupakan suatu peristiwa yang menyenangkan, meskipun ia tidak benar-benar menikmati makanannya, justru ia lebih menikmati kesempatan untuk duduk bersama orang tuanya di meja makan.
Para ahli berpendapat bahwa, “ saat makan bersama merupakan yang paling penting untuk berkomunikasi. Mereka juga mengatakan bahwa ada hubungan antara kehangatan keluarga dalam sebuah rumah tangga dengan kehidupannya di sekitar meja makan. Di meja makan inilah rasa kasih sayang timbul.”
Cara menyelenggarakan suatu percakapan yang menyenangkan dengan anak-anak ialah dengan menempatkan diri orang tua sesuai dengan suasana yang diciptakan oleh anak, yakni orang tua harus mencurahkan perhatian penuh dan menunjukkan sikap yang simpatik, mata orang tua harus tertuju kepada wajah mereka, sambil memperhatikan raut muka mereka, apakah yang terpancar lucu, menyedihkan atau menjengkelkan. Setelah itu orang tua baru menunjukkan responnya.

B. Sikap Sosial Anak
1. Perkembangan Sikap Sosial Anak
Sikap sosial secara umum adalah hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, saling kebergantungan dengan manusia yang lain dalam berbagai kehidupan bermasyarakat. Sedang pendapat lain mengatakan interaksi di kalangan manusia ; interaksi adalah komunikasi dengan manusia lain, hubungan yang menimbulkan perasaan sosial yaitu perasaan yang mengikatkan individu dengan sesama manusia ; perasaan hidup bermasyarakat seperti saling tolong menolong, saling memberi dan menerima, simpati dan antipati, rasa setia kawan, dan sebagainya.

Perkembangan sosial merupakan suatu hasil kematangan dalam hubungannya dengan pergaulan sosial ( masyarakat ). Dengan perkembangan sosial berarti bahwa pada usia-usia tertentu akan berkembang sifat-sifat yang tertentu pula, dan perkembangan ini berbeda-beda sesuai dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhinya.
“ Kehidupan sosial seorang anak pada permulaan terjadi bukan dengan anak-anak sebayanya, tetapi dengan orang dewasa.” Orang dewasa yang pertama-tama dekat dengannya ialah ibunya. Sejak bayi ia sudah menyadari bahwa ia membutuhkan orang lain. Dengan bahasa tangisanlah bayi bersosialisasi dengan lingkungannya. Ia tersenyum dan kadang-kadang menangis, dia akan berhenti menangis bila ada orang yang menjumpai dan memenuhi keinginannya.
Charlotte Buhler seperti yang dikutip oleh Abu Ahmadi, membagi tingkat perkembangan sosial anakmenjadi 4 ( empat ) tingkatan sebagai berikut :
a. Tingkatan pertama ; sejak dimulai umur 0, 4-6 bulan, anak mulai mengadakan reaksi positif terhadap orang lain, antara lain ia tertawa, karena mendengar suara orang lain. Anak menyambut pandangan orang lain dengan pandangan kembali dan lain-lain.
b. Tingkatan kedua : adanya rasa bangga senang yang terpancar dalam gerakan dan mimiknya, jika anak tersebut dapat mengulangi yang lainnya. Tingkatan ini biasanya mulai muncul pada anak usia 2 tahun ke atas. Contoh, anak yang berebut benda atau mainan, jika menang dia akan kegirangan dalam gerak dan mimik.
c. Tingkatan ketiga : jika anak telah lebih dari umur 2 tahun ke atas , mulai timbul perasaan simpati (rasa setuju) dan atau rasa antipati (rasa tidak setuju) kepada orang lain, baik yang sudah dikenalnya atau belum.
d. Tingkat keempat : pada masa akhir tahun kedua, anak setelah menyadari akan pergaulannya dengan anggota keluarga, akan timbul keinginan untuk ikut campur dalamgerak dan lakunya.

Reaksi-reaksi sosial pada tahun-tahun pertama, sebenarnya bertujuan untuk menambah kematangan dan kesanggupan bergaul dengan orang lain. Anak mulai mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan dalam masyarakat kecilnya. Setelah selesai masa egosentris, yaitu pada saat ia berusia kurang lebih empat tahun dan seterusnya. “ walaupun ketika berumur 3 tahun anak mulai mau bekerja sama dengan teman, membagi-bagikan mainan, namun sifat yang dimiliki masih bersifat egosentris, kurang begitu memperhatikan perasaan orang lain.”
Kontak sosial merupakan segi yang sangat penting dalam kehidupan seorang anak. Kontak dengan anggota keluarga di dalam rumahnya, dengan teman-teman sebayanya, dengan orang dewasa lainnya di samping kedua orang tuanya dan dengan orang-orang yang baru ditemuinya. Semua itu sangat penting demi pembetulan watak, rasa percaya diri dan kemandiriannya. Bila kita lihat anak-anak yang tidak banyak memperoleh peluang untuk melakukan kontak sosial, akan nampak bahwa penampilannya jauh berbeda dengan anak-anak yang dibiarkan bebas melakukan kontak sosial itu.
Setelah anak memasuki dunia sekolah, terutama setelah berumur 5-8 tahun, anak mulai bermain bersama membuat kelompok dan gang. “ Kelompok tersebut dibuat berdasarkan kesamaan tujuan, kesetiakawanan dan keakraban.”35 Keinginan untuk memperluas lingkungan sosialnya mendorong anak untuk lebih banyak bermain di luar rumah. Ia tidak mau lagi bermain ayunan di halam rumah atau di sekitar rumah. Selain karena pertambahan usia, hal ini disebabkan anak sudah sanggup berpisah dengan ayah dan ibunya, karena aktifitasnya sudah semakin luas. Ia tidak banyak lagi bergantung pada kedua orang tuanya, dan rasa ingin tahunya bertambah besar sehingga ia cenderung menghabiskan waktunya di rumah teman-temannya di mana ia dapat memuaskan rasa ingin tahunya tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tidak setiap anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Keberhasilan anak menyesuaikan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :
a. Tergantung di mana anak itu dibesarkan, yang dimaksud di sini ialah kehidupan di dalam keluarga.
b. Kesulitan lain terjadi karena anak tidak memperoleh “model” yang baik di rumah terutama dari orang tuanya. Orang tua yang seharusnya memberi contoh yang baik ternyata sering kali bersikap dan bertingkah laku agresif. Kehidupan emosi yang cepat marah dan sebagainya. Biasanya anak-anak yang merupakan “hasil” keluarga tersebut, akan mengalami kesukaran dalam berhubungan dengan orang lain di luar rumah.36

Umumnya pada usia sekitar 6-7 tahun, anak masih mau di pimpin, tetapi setelah menginjak usia 10 tahun, anak berangsur-angsur menunjukkan sikap menentang sampai suatu saat ia tidak mau dipimpin lagi. Dengan meningkatnya usia anak menjadi lebih sosial aktif, terjadilah hubungan antar sebaya. Anak yang oleh orang tuanya terlalu dikekang dan tidak boleh bermain dengan teman-temannya maka anak tersebut akan kurang dalam bersosialisasi dengan orang lain. Sosialisasi anak dengan teman-temannya mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya yaitu anak akan belajar menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan memperoleh pengalaman baru, sedangkan dampak negatifnya yaitu jika anak tidak punya prinsip hidup yang kuat maka anak akan gampang mengikuti kebiasaan buruk temannya, di sinilah dibutuhkan kontrol dan pengawasan dari orang tua untuk memberi tahu norma baik dan buruk di masyarakat.
Anak mulai mengalami perkembangan kepribadian sosial dan mulai mencari konsep hidup, meskipun dalam nilai religi, etik dan estetika belum mendalam. Karena itu pada usia ini penyaluran di bidang sosio-budaya dan keagamaan hendaknya mendapat perhatian lebih dari orang tuanya.
2. Peranan Keluarga Terhadap Perkembangan Sosial Anak
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia di mana ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Di dalam keluarga manusia pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantu-membantu dan lain-lain. Dengan kata lain ia pertama-tama belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain.
Pengalaman-pengalamannya dalam interaksi sosial dalam keluarganya turut menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan sosial di luar keluarganya, di dalam masyarakat pada umumnya. Apabila interaksi sosialnya di dalam keluarga karena beberapa sebab tidak lancar atau tidak wajar, kemungkinan besar interaksi sosial dengan masyarakat pada umumnya juga berlangsung tidak wajar.
Jadi selain keluarga itu berperan sebagai tempat manusia berkembang sebagai makhluk sosial, terdapat pula peranan-peranan tertentu di dalam keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan individu sebagai makhluk sosial yaitu :
a. Peranan sosial ekonomi
Keadaan sosial ekonomi keluarga dapat juga berperan terhadap perkembangan anak-anak, yang orang tuanya berpenghasilan cukup lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan. Begitu pula sebaliknya, hubungan sosial anak-anak yang keluarganya mampu, mempunyai corak yang berbeda, orang tua mereka dapat mencurahkan perhatian yang lebih mendalam, sebab tidak disulitkan olehkebutuhan-kebutuhan primer, seperti mencari nafkah sehari-hari. Namun demikian status sosial ekonomi tidaklah dapat dikatakan sebagai faktor yang mutlak, sebab hal ini tergantung pula kepada sikap orang tua dan corak interaksi dalam keluarga itu.
b. Keutuhan keluarga
Yang dimaksud keutuhan keluarga ialah pertama-tama keutuhan struktur keluarga, yaitu bahwa di dalam keluarga itu ada ayah, ibu dan anak-anaknya. Selain itu dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga, jadi bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar (harmosnis). Apabila orang tuanya sering cekcok dan menyatakan sikap saling bermusuhan dengan disertai tindakan-tindakan yang agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh.
c. Sikap dan kebiasaan-kebiasaan orang tua
Cara-cara dan sikap-sikap dalam pergaulan kedua orang tua memgang peranan yang penting dalam perkembangan sikap sosial anak. Hal ini mudah diterima apabila kita ingat bahwa keluarga itu sudah merupakan kelompok-kelompok sosial dengan tujuan-tujuan, struktur, norma-norma, dinamika kelompok termasuk cara-cara kepemimpinannya yang sangat mempengaruhi kehidupan individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
d. Status Anak
Status anak juga berperan sebagai suatu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial anak di dalam keluarganya. Yang dimaksud status anak, misalnya sebagai anak tunggal, status anak sulung atau anak bungsu di antara kakak adiknya.

Keutuhan keluarga yang dimaksud bukan saja keutuhan dalam struktur keluarga akan tetapi juga harus tinggal bersama. Orang tua yang tinggal berjauhan dengan anaknya akan mempunyai pengaruh yang kurang baik bagi perkembangan sosial anak karena komunikasi antara keduanya tidak berjalan lancar.
3. Arti Pergaulan dan Teman bagi Anak
Meskipun dalam taraf usia balita anak-anak masih bisa menjadi asik dalam kegiatannya sendiri, dalam kenyataan kalau mereka sedang bersama-sama dengan teman-teman sebayanya, mereka cenderung menyatu dan bertukar pengalaman. Mereka juga bisa menikmati permainan secara berdampingan seakan-akan tidak ada masalah, karena anak seumur itu dapat saling menikmati keikut sertaan anak lain sebayanya.
Selain itu, anak-anak kecilpun sudah mulai mengembangkan perasaan saling mengasihi antara satu dengan yang lain, hal ini merupakan permulaan timbulnya kesadaran dan simpati terhadap perasaan yang hinggap pada anak lain. Boleh dikatakan anak mulai belajar memahami perasaan orang lain.
Setiap anak tentu ingin mempunyai teman bergaul dan bermain, mereka memang memerlukan teman bermain agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Keinginan untuk selalu mempunyai seseorang di dekatnya sudah tampak pada masa permulaan kehidupan seorang anak, yaitu pada saat seorang bayi menangis terus sebelum ada yang datang untuk menemaninya.
Jika sang anak menjadi lebih besar, kebutuhan ini akan semakin meningkat. Pertama kali yang diinginkannya adalah melakukan sesuatu bersama orang lain, semua yang bisa memenuhi keinginannya itu dianggapnya sebagai sahabat, meski sebetulnya orang tersebut boleh dikatakan sudah dewasa.
E.Hurlock seperti dikutip oleh Singgih D.Gunarsa, mengemukakan tiga bentuk cara berkawan pada anak-anak :
a. Orang-orang yang berkawan atau bergaul dengan anak-anak hanya dengan melihat atau mendengarkan perkataan-perkataan mereka tanpa melakukan interaksi langsung dengan mereka.
b. Teman sebaya adalah bentuk yang kedua, yaitu teman di mana mereka biasa bermain dan melakukan aktifitas bersama-sama, sehingga menimbulkan rasa senang bersama. Biasanya usia mereka sebaya dan juga dari jenis kelamin berbeda.
c. Ialah yang disebut sebagai teman sesungguhnya, dalam pengertian di mana anak tidak saja ikut bermain bersama tetapi juga mengadakan komunikasi, memberikan pendapat dan saling mempercayai satu terhadap lainnya. Kebanyakan mereka menyenangi teman sebaya.

Menurut para ahli, pengalaman bergaul sangat besar pengaruhnya bagi proses perkembangan sosial seorang anak, baik pengalaman yang sangat pahit maupun yang manis. Keduanya sama pentingnya, dalam saat-saat bermain dengan teman, anak akan menyadari bahwa pergaulan tidaklah selalu menyenangkan, bahkan seringkali amat keras. Dengan bergaul anak akan menghadapi kenyataan pahit dan manis yang mungkin tidak pernah terjadi dalam keluarganya.
Melalui pengalaman interaksinya dengan anak-anak lain, seorang anak akan mengetahui apa sebenarnya yang ia harapkan dari orang lain dan juga apa yang diharapkan orang lain dari dirinya. Kesadaran ini sangat, bukan saja dalam masa kanak-kanak, melainkan juga sepanjang hidupnya.

Pandangan Mayarakat Modern tentang Pendidikan

Antara pendidikan dan perkembangan masyarakat terdapat interaksi timbal balik dan saling mempengaruhi. Artinya, perkembangan pendidikan akan amat bergantung pada pandangan dan harapan masyarakat terhadap pendidikan, dan pada akhirnya perkembangan suatu masyarakat ditentukan juga oleh tingkat pendidikan anggotanya.
Oleh karenanya, masyarakat modern pada satu segi memandang "pendidikan sebagai variabel modernisasi. Dalam konteks ini pendidikan dianggap sebagai prasyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat untuk menjalankan program dan mencapai tujuan-tujuan modernisasi atau pembangunan." Dengan demikian, pendidikan dalam benak masyarakat modern adalah agent of change (agen perubahan) bagi masyarakat. Maju tidaknya pembangunan masyarakat tergantung pada kemampuan pendidikan memenuhi kebutuhan yang diperlukan masyarakat. "Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat manapun untuk mencapai kemajuan. Karena itu banyak ahli pendidikan yang berpandangan bahwa 'pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu ke arah modernisasi'."
Sehubungan dengan pembahasan ini, Shipman, sebagaimana dikutip oleh Azyumardi Azra, berpendapat bahwa fungsi pendidikan bagi masyarakat modern terbagi dalam tiga bagian, yaitu :
1). Sosialisasi : Dalam hal ini masyarakat modern memandang bahwa "pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan."
2). Penyekolahan (schooling) : Dalam hal ini masyarakat modern memandang bahwa pendidikan adalah sarana mempersiapkan anak didik untuk menduduki posisi sosial-ekonomi tertentu, dan oleh karena itu penyekolahan harus membekali peserta didik dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat.
3). Pendidikan (education) : Dalam hal ini masyarakat modern memandang bahwa pendidikan atau education dimaksudkan untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan besar bagi kelanjutan program modernisasi.
Berdasarkan pandangan tentang fungsi pendidikan ini, maka pendidikan dalam masyarakat modern dituntut untuk melakukan hal-hal berikut ini :
1). Sistem pendidikan dituntut mampu untuk memperluas dan memperkuat wawasan nasional anak didik.
2). Sistem pendidikan dituntut untuk mampu mendidik, mempersiapkan dan menghasilkan kepemimpinan modern dan innovator yang dapat melakukan perubahan strategis dan konstruktif terhadap masyarakat sekaligus memelihara nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.
3). Sistem pendidikan dituntut untuk mempersiapkan anak didik menjadi sumber daya manusia yang unggul dan mampu mengisi berbagai lapangan kerja yang tercipta dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, lembaga-lembaga pen-didikan Islam tidak cukup lagi sekedar menjadi lembaga transfer dan transmisi ilmu-ilmu Islam, tetapi sekaligus dapat memberikan skill dan keahlian.
4). Pendidikan dituntut untuk mampu memberikan arah perubahan. Maka, pendidikan Islam khususnya tidak cukup lagi hanya memberikan bekal hidup kepada anak didiknya, tapi juga menjadikan mereka sebagai aktor perubahan sosial.
5). Sistem pendidikan dituntut untuk mampu memelihara stabilitas dan mengembangkan warisan kultural yang kondusif bagi pembangunan.

Dengan karakteristik yang ada pada masyarakat modern tersebut di atas, kita bisa membayangkan apa tanggapan mereka tentang pendidikan Islam, sebagai sebuah sistem pendidikan yang memadukan antara unsur materialistik dengan metafisis. Meskipun demikian, kebutuhan manusia modern tidak saja sains dan teknologi, tetapi kebutuhan rohani, termasuk kebutuhan akan masa depan, baik di dunia maupun sesudahnya. Kebutuhan rohani ini ada pada agama.
Pendidikan Islam tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja dari kehidupan masyarakat modern. Karena kebutuhan mereka terhadap unsur-unsur rohani adalah fitrah yang tidak mungkin lepas dari diri mereka meski rasionalisme, materialisme, dan sekularisme menyelimuti pemikiran mereka. Persentuhan manusia modern dengan produk-produk budaya terkadang menimbulkan dampak negatif, serta masuknya manusia ke dalam siklus kehidupan materialistik, hedonistik, dan menghalalkan segala cara dan kemudian terhenti pada perasaan dosa yang tidak dapat dihapus dengan materi. Semua ini membawa ia kepada kehidupan kerohanian.
Dengan demikian pendidikan Islam, sebagai pendidikan yang berasaskan nilai-nilai religiusitas adalah alternatif yang dapat memberikan kesimbangan duniawi dan ukhrawi bagi kehidupan masyarakat modern.
Inilah persepsi, harapan, dan tuntutan masyarakat modern terhadap pendidikan yang menjadi agent of change. Oleh sebab itu, pendidikan dalam masyarakat, mau tidak mau, bergerak searah dengan pandangan masyarakat tersebut. Memang, hal ini menjadi sangat dilematis, menimbang keberadaan pendidikan agent of transformation, yang semestinya mengendalikan perubahan masyarakat tapi eksistensinya ditentukan oleh pandangan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hal terpenting bagi pendidikan adalah memformulasikan pandangan-pandangan tersebut agar pendidikan dapat menjadi wahana bagi masyarakat untuk mencapai tujuan hidup yang sebenarnya.

Tinjauan umum tentang Masyarakat Modern

a. Pengertian Masyarakat Modern
Secara etimologis, kata masyarakat berarti "sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama" . Sedangkan kata modern berarti "sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman." Adapun masyarakat modern diartikan sebagai "masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas, spesialiasi di bidang industri, dan pemakaian teknologi canggih".
Terminilogi masyarakat modern tidak dapat dilepaskan dari istilah modernisasi.
Secara historis, modernisasi merupakan suatu proses perubahan yang menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 sampai abad ke-19. Sistem sosial yang baru ini kemudian menyebar ke negara-negara Eropa lainnya serta juga ke negara-negara Amerika Selatan, Asia, dan Afrika pada abad ke-19 dan 20 ini.

Ada beberapa konsep modernisasi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Soedjatmoko mendefinisikan modernisasi sebagai “menambah kemampuan suatu sistem sosial untuk menanggulangi tantangan-tantangan serta persoalan-persoalan baru yang dihadapinya, dengan penggunaan secara rasional daripada ilmu dan teknologi atas segala sumber kemampuannya.
Dalam pandangan Mukti Ali, modernisasi adalah "proses di mana rakyat dalam kulturnya sendiri menyesuaikan dirinya terhadap kebutuhan-kebutuhan waktu di mana mereka hidup." Sedangkan Koentjaraningrat mengartikan modernisasi sebagai "usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang."
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, nampak bahwa modernisasi diartikan sebagai proses perubahan dan penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Dengan demikian, modernisasi tidak hanya terjadi pada abad ke-20 saja tapi juga pada masa-masa sebelumnya.
Lain dari pada itu, istilah modernisasi sering diidentikkan oleh sebagian masyarakat dengan istilah westernisasi. Padahal pengertian keduanya sangat berbeda. Westernisasi, menurut Koentjaraningrat adalah :
Meniru gaya hidup Barat berarti meniru secara berlebihan gaya pakaian orang Barat dengan cara mengikuti mode yang berubah cepat ; meniru gaya bicara dan adat sopan santun pergaulan orang Barat dan seringkali ditambah dengan sikap merendahkan bahasa nasional dan adat sopan santun pergaulan Indonesia. Meniru pola-pola bergaul, pola-pola berpesta (merayakan ulang tahun), pola rekreasi dan kebiasaan-kebiasaan minum-minuman keras seperti orang Barat. Orang-orang Indonesia yang berusaha mengadaptasi gaya hidup kebarat-baratan itulah yang sebaiknya kita sebut orang yang condong ke arah westernisasi. Orang seperti itu belum tentu modern dalam arti bahwa mentalitasnya modern...

Lain dari pada itu, Faisal Ismail berpendapat bahwa :
...proses westernisasi biasanya diikuti oleh proses sekularisasi. Suatu masyarakat yang sudah terwesternisasi akan menjadi masyarakat yang sekuler di mana pandangan-pandangan dan aspirasi agama serta moral ditinggalkan dan hanya mementingkan kehidupan material, duniawi dan kebendaan. Dalam masyarakat sekuler seperti di dunia Barat nilai-nilai kerohanian, spiritual dan moral telah runtuh terdesak oleh pertimbangan dan kepentingan praktis-pragmatis dan sekularistik. Dalam kehidupan masyarakat seperti ini, aspirasi agama dan moral kurang dan bahkan tidak menjiwai proses pembangunan dan modernisasi.

Meskipun demikian, kekacauan semantik antara modernisasi dan westerisasi di tengah masyarakat tentunya tidak terjadi begitu saja tanpa sebab apapun. Dalam hal ini penulis melihat beberapa sebab yang mendorong munculnya kekacauan semantik tersebut, yaitu :
1). Sebagaimana dinyatakan oleh Soerjono Soekanto bahwa secara historis modernisasi pada saat ini, berkembang untuk pertama kalinya di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 dan ke-19, kemudian berkembang ke wilayah lain, termasuk Indonesia, pada abad ke-19 dan 20. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses modernisasi tersebut terdapat proses westernisasi. Tentunya kemampuan untuk menepis westernisasi dalam proses modernisasi hanya dapat dilakukan oleh masyarakat yang bisa membedakan mana isi dan mana wadahnya, atau dengan kata lain mana hal yang termasuk proses modernisasi dan mana hal yang termasuk westernisasi. Realitanya, sangat sulit bagi kita untuk membedakan antara keduanya. Sebagai contoh : berdasarkan pengertian westernisasi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, bahwa mengikuti gaya berpakaian orang Barat adalah salah satu bentuk westernisasi. Namun, hal tersebut tidak bisa diberlakukan secara general, sebab perubahan berpakaian masyarakat Irian Jaya dari memakai koteka menjadi memakai kemeja tidak dapat dikategorikan sebagai westernisasi, tapi lebih sesuai dikatakan sebagai proses modernisasi.
2). Sebagaimana dinyatakan oleh Koentjaraningrat bahwa modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. Artinya, setiap masyarakat yang telah hidup yang sesuai dengan zaman dan kontelasi dunia, dapat dikatakan sebagai masyarakat modern. Padahal,
Pada abad ke-20, konstelasi dunia ditentukan oleh negara-negara besar yang telah yang telah memperoleh kemajuan pesat di bidang ekonomi. ...Akan tetapi, kelihatannya, negara-negara Barat (dan Amerika Serikat) yang merupakan suatu kekuatan yang ikut menentukan konstelasi dunia dewasa ini, lebih banyak berpengaruh dalam bidang ekonomi, politik dan kebudayaan, palintidak yang dapat dirasakan di Indonesia yang secara keras menolak dan melarang paham komunisme. Pengaruh dominan dari Barat inilah agaknya yang membawa sebagian masyarakat Indonesia yang kurang kritis telah mengasosiasikan dan bahkan mengidentikan pembangunan dan modernisasi dengan westernisasi....

Di samping dua istilah di atas, Faisal Ismail mengemukakan istilah lain yang menengahi dua istilah di atas (modernisai dan westernisasi), yaitu adaptasi budaya Barat. Menurutnya, proses adaptasi terhadap budaya Barat dapat membentuk masyarakat yang modern dan tidak terwesternisasi, karena dalam proses adaptasi terhadap budaya Barat tersebut, yaitu proses menggunakan dan mengadaptasi unsur-unsur kebudayaan Barat, kita tidak harus menjadi Barat.
Akan tetapi, permasalahan membedakan antara modernisasi, westernisasi, dan adaptasi budaya Barat menjadi semakin sulit, ketika melihat kenyataan bahwa "proses modernisasi mencakup proses yang sangat luas. Kadang-kadang batasan-batasannya tidak dapat ditetapkan secara mutlak." Sehingga bisa saja suatu hal yang saat ini dianggap sebagai westernisasi atau proses adaptasi budaya Barat di masa mendatang dipandang sebagai modernisasi, atau bahkan pada saat yang bersamaan suatu hal bisa dipandang oleh sebagian orang sebagai modernisasi ataupun adaptasi budaya Barat, akan tetapi oleh sebagian orang dipandang sebagai westernisasi. Sebagai contoh : Perpu Tentang Terorisme yang saat ini sedang digulirkan di Indonesia, oleh sebagian anggota masyarakat dipandang sebagai bagian dari proses modernisasi, karena konstelasi dunia melakukannya. Namun sebagian anggota masyarakat melihatnya sebagai proses westernisasi, sehingga mereka menentang perpu tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis membatasi pengertian masyarakat modern dalam penelitian ini sebagai masyarakat yang terwesterniasi dan tersekularisasi di tengah proses penyesuaian diri mereka dengan perkembangan dan tuntutan zaman (modernisasi). Dalam masyarakat yang penulis maksud, sebagaimana yang dipaparkan oleh Faisal Ismail, pandangan-pandangan dan aspirasi agama serta moral ditinggalkan dan hanya mementingkan kehidupan material, duniawi dan kebendaan, di mana nilai-nilai kerohanian, spiritual dan moral mereka telah runtuh terdesak oleh pertimbangan dan kepentingan praktis-pragmatis dan sekularistik

b. Ciri-Ciri Masyarakat Modern
"Setiap masyarakat mempunyai ciri khas dan pandangan hidupnya. Mereka melangkah berdasarkan kesadaran tentang hal tersebut. Inilah yang melahirkan watak dan kepribadiannya yang khas." Demikian juga dengan masyarakat modern, ia memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik masyarakat tradisonal. Ada beberapa karakteristik masyarakat modern yang dapat penulis ungkapkan di sini, sebagai berikut :
1). Rasional.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, "masyrakat modern cenderung mengatur perilaku dan menerima keyakinannya tidak lagi lewat doktrin-doktrin agama, tetapi lewat pertimbangan-pertimbangan rasional dan praktis." Hal ini juga nampak dalam pandangan mereka tentang pendidikan.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Sayyed Hossein Nasr, bahwa "manusia modern yang memberontak melawan Allah, telah menciptakan sebuah sains yang tidak berdasarkan cahaya intelek  jadi berbeda dengan yang kita saksikan di dalam sains-sains Islam tradisional  tetapi berdasarkan akal (reason) manusia untuk memperoleh data melalui indera."
2). Materialistis.
Masyarakat modern cenderung materialistis atau kebendaan. Artinya anggota masyarakat ini, lebih cenderung menerima hal-hal yang empiris ketimbang hal-hal yang metafisis. Bagi mereka ilmu pengatahuan yang dapat diterima adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penelitian empris dan rasional. Karakteristik ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filsafat barat yang bersifat materialistik dan turunan peradabannya pun bersifat materialistik yang menolak otoritas Tuhan yang bersifat metafisis (non-materi). Oleh sebab itu Tuhan disingkirkan dari kehidupan mereka.
Sehubungan dengan hal ini, Nasr berpendapat : "Dunia menurut manusia-manusia modern adalah dunia yang tidak memiliki dimensi transendental. Bahkan di dalam dunia yang nyata ini segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh jaring sains modern (menurut istilah yang terkenal dari Sir Arthur Eddington) secara kolektif diabaikan, dan secara 'obyektif' dinyatakan tidak ada."
Dari kutipan di atas, nampak semakin jelas bahwa dimensi transendental (ketuhanan) tidak ada dalam kamus manusia modern, bahkan segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh sains modern yang bersifat empiris, diabaikan dari pembahasan mereka dan berdasarkan batasan obyektifitas yang mereka buat dianggap tidak ada.
3). Sekularistis.
Sekularisasi dalam masyarakat modern menunjukkan lima hal ; mundurnya pengaruh agama, sekedar kompromi dengan dunia, demistifikasi atau desakralisasi dunia, ketidakterikatan (disengagement) kepada masyarakat, dan pemindahan kepercayaan/iman dan pola-pola perilaku dari suasana keagamaan ke suasana sekular.
4). Agresif terhadap kemajuan.
Karakteristik masyarakat modern yang lainnya adalah agresifitas mereka terhadap kemajuan. Didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk dan ditundukkan oleh kedigdayaan iptek yang berporos pada rasionalitas.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa ada di antara ciri-ciri masyarakat modern tersebut yang menjadi landasan bagi kemajuan umat manusia dan berdampak positif terhadap kehidupan mereka, yaitu berpikir rasional dan sikap agresif terhadap kemajuan. Kedua hal ini merupakan bekal bagi terkuaknya berbagai ilmu pengetahuan yang tidak sedikit sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Hanya saja, ketika dua hal ini tidak mengindahkan lagi nilai-nilai ajaran agama, maka akan berakibat negatif bagi kehidupan manusia. Sedangkan sikap materialistis dan sekularistis, penulis pandang sebagai dua hal yang menjadikan manusia kehilangan kesejatiannya sebagai manusia, yang terdiri dari jasmani dan rohani, dan menjadikan mereka teralienasi dari Tuhannya, yang semestinya selalu hadir dalam setiap nafas hidup mereka.

c. Berbagai Problem Mendasar Masyarakat Modern
Pergeseran kehidupan masyarakat, dari kehidupan yang sederhana (tradisional) kepada kehidupan modern tak pelak membawa manusia ke hadapan berbagai problem kehidupan, termasuk di dalamnya dalam bidang pendidikan. Dalam pandangan Nasr :
Perbenturan di antara penemuan-penemuan berserta manipulasi-manipulasi ummat manusia di dalam bentuk teknologi dengan kultur mereka, maupun efek yang mengerikan serta menghancurkan lingkungan dan aplikasi pengetahuan yang diperoleh mereka sudah sedemikian dahsyatnya, sehingga banyak pihak di dunia modern ini, terutama sekali di Barat, akhirnya mulai mempertanyakan validitas konsep manusia yang diyakini Barat sejak kebangkitan kebudayaan modern.

Dari pendapat di atas, semakin jelaslah bahwa masyarakat modern, baik di dunia Barat maupun di dunia Islam, termasuk Indonesia, menyimpan berbagai problem dalam kehidupan mereka. Di antara problem-problem masyarakat modern yang dapat penulis identifikasi dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut :
1). Manusia modern tidak memiliki horizon spritual dalam kehidupannya, bukan lantaran horizon spiritual tersebut tidak ada dalam kehidupan mereka, tapi lebih disebabkan cara pandang mereka dalam menyikapi kehidupan kontemporer saat ini. Mereka lebih cenderung memandangnya dari sudut pandang mereka sendiri dan mengabaikan sudut pandang spiritual sebagai unsurketuhanan. Dengan sikap seperti ini, tuntutan terhadap dunia pendidikan sebagai wahana yang menyediakan kebutuhan lapangan pekerjaan hanya akan didasari atas pertimbangan kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh out put pendidikan dalam bidang kerja tertentu, sedangkan aspek spiritual out put pendidikan yang juga penting untuk membentuk pekerja yang agamis tidak menjadi pertimbangan.
2). Manusia modern "begitu tergila-gila pada prestasi material, sukses duniawi, efisiensi dan kesenangan dengan mengizinkan pembaharuan teknologis yang tidak terkontrol dan mengabaikan penyakit ekologi dan sosial mereka." Tanpa disadari teknologi yang telah diciptakan oleh sains modern, secara tidak langsung menjadi alat penghancur bagi kehidupan manusia, baik kehidupan sosial mereka maupun kehidupan mereka sebagai bagian dari alam semesta.
3). Suatu hal yang tak kalah pentingnya sebagai problem yang dihadapi oleh masyarakat modern dewasa ini adalah terjadinya krisis moral dan kejiwaan dalam masyarakat. Dalam "masyarakat yang tengah mengalami krisis moral dan kejiwaan akibat gelombang histeris materialisme, tidaklah menjadikan moralitas tetapi kekayaan sebagai ukuran kemuliaan dan kehormatan..." Krisis moral ini tidak hanya terjadi di kalangan generasi muda mereka, tapi lebih dari itu terjadi pula dalam dunia pendidikan mereka. Akibatnya, moralitas yang seyogyanya menjadi bagian dari orientasi pendidikan dapat terabaikan begitu saja.
Inilah beberapa problem yang dihadapi masyarakat modern yang tentunya menuntut pendidikan Islam untuk berbuat lebih, setidaknya dapat mengatasi problem-problem tersebut. Untuk itu paling tidak pendidikan Islam harus mampu memformulasikan konsep pendidikannya hingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Siswa

Dalam pelaksanaan pendidikan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku siswa yang harus dicermati oleh setiap pendidik, baik orang tua di rumah ataupun guru di sekolah. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku siswa tersebut adalah :
1. Pengawasan
Bila tingkat kesopanan siswa dapat dinyatakan rata-rata menurun, maka sesungguhnya yang pertama-tama harus dilihat adalah bagaimana orang tua melakukan kontak keseharian atau komunikasi dengan putra-putrinya. Kontak keseharian tersebut meliputi tiga aspek penting dalam komunikasi, sebagai berikut:
a. Frekuensi komunikasi. Diyakini bahwa semakin tinggi frekuensi komunikasi antara anak dengan orang tua, semakin besar pengaruh positif-nya kepada anak-anak. Tetapi frekuensi saja tidak cukup untuk menyatakan bahwa komunikasi tersebut berlangsung secara efektif, karena efektivitas komunikasi masih ditentukan oleh intensitas dan kualitas komunikasi yang tercipta. Sementara itu, diperkirakan rata-rata jumlah jam per hari yang dipakai orang tua untuk bekerja saat ini semakin panjang. Secara normatif, seorang pegawai negeri bekerja di kantor antara jam 07.00 sampai pukul 14.00. Tidak jarang, mereka berkerja jauh lebih panjang lagi karena tuntutan jenis pekerjaan yang ditangani, karena tuntutan tanggung jawab pada jabatannya atau karena mencari penghasilan tambahan, dan sebagai-nya. Di kota-kota besar seperti Jakarta, tidak jarang orang tua yang bekerja baru pulang dan sampai ke rumahnya setelah pukul 18.00. Indikasi ke arah itu dapat dicermati di halte-halte bus atau di stasiun kereta api yang, pada jam-jam tersebut, cukup banyak orang yang antre kendaraan umum.
Dalam kondisi seperti itu, jelas frekuensi pertemuan orang tua dengan anak hanya berlangsung pada malam dan pagi hari. Selebihnya, ke mana saja anak-anak itu pergi pada siang hari selepas jam belajar di sekolahnya, para orang tua ini tidak banyak tahu. Kalaupun ada yang membantu melakukan pengawasan di rumah, bisa jadi itu adalah pembantunya. Pada malam hari pun belum tentu terjadi komunikasi. Lebih-lebih pada pagi hari. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah atau ke kantornya masing-masing. Maka problem kesantunan, kesopanan, moral, dan akhlak anak lebih banyak terjadi di daerah perkotaan yang tingkat komunikasi orang tua dengan anak-anaknya relatif lebih sedikit.
b. Tingkat intensitas komunikasi. Bertemu tatap muka bisa jadi memang jarang berlangsung di kota-kota besar yang kedua orang tuanya bekerja seharian. Tetapi masalah itu masih dapat diatasi apabila pada kesempatan-kesempatan yang memungkinkan komunikasi kemudian berlangsung dalam tingkat intensitas yang tinggi. Sambung rasa orang tua dengan anak berlangsung mesra, terbuka, bertimbal balik, dan ceria. Pesan-pesan komunikasi akan ditangkap dengan mudah oleh penerima komunikasi dipastikan menghasilkan kesan-kesan positif terhadap pesan yang disampaikan. Pada intensitas semacam itulah sesungguhnya kita banyak berharap pesan-pesan moral dan budi pekerti banyak ditanamkan orang tua.
c. Kualitas pesan yang dikomunikasikan. Frekuensi dan intensitas komunikasi belum tentu juga menghasilkan pesan yang efektif dapat diterima oleh anak. Ada satu bagian lagi yang dipersyaratkan, yaitu kualitas pesan yang dikomunikasikan. Apakah pesan-pesan tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan kejiwaan anak ? apakah isi pesan tersebut sesuatu yang mendidik positif kepada anak atau bahkan yang mendorong ke perbuatan-perbuatan negatif ? Umpamanya saja, jika ada orang tua yang berpesan kepada putrinya : "Nak, kalau nanti kamu kesulitan kendaraan umum ketika pulang sekolah, hentikan saja kendaraan Om-Om yang lewat, mereka pasti mau mengantarkan kamu". Maka orang tua itu telah memberikan pesan yang benar, tapi sama sekali tidak mendidik.
2. Sosok Teladan
Yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat pada upaya peningkatan moral dan budi pekerti anak-anak kita. Pada awal masa pertumbuhan anak, peran keluarga begitu dominan. Pada tahap berikutnya, sekolah ikut menyumbang pertumbuhan kejiwaan anak. Dan ketika memasuki masa remaja, dunia mereka jauh lebih luas lagi. Ia menjadi bagian dari kumunitas lingkungannya. Pada tahap inilah peran masyarakat mulai mewarnai penampilan moral dan budi pekerti anak. Kunci keikutsertaan masyarakat terletak pada keteladanan yang secara keseharian digaulinya.
Di samping keteladanan masyarakat, kontrol sosial juga sangat berperan. Di daerah perkotaan, kontrol sosial sedemikian sudah sangat longgar, sehingga pengaruh film atau lainnya akan dengan sangat mudah terlihat. Kontrol sosial juga semakin longgar di daerah pedesaan. Kehidupan bangsa ini semakin mengedepankan individualitas dengan tingkat intensitas yang semakin tinggi. Akibatnya, semakin kentara saat ini. Bila peredaran narkoba dulu hanya di sekitar perkotaan, saat ini sudah banyak merambah kota-kota kecil di pedalaman.
Pengaruh masyarakat bukan hanya dari perilaku individual dan komunal, tetapi juga dari berbagai alat budaya dan alat komunikasi yang berinteraksi di dalam masyarakat. Pengaruhnya diyakini luar biasa, baik yang positif maupun yang negatif. Dan pada era keterbukaan informasi seperti saat ini, kehadirannya tak terhindarkan. Tinggal sejauh mana kita membekali anak-anak dengan tameng iman dan kemampuan menyensor informasi yang mereka terima.
3. Penanaman Bukan Pengajaran
Pendidikan budi pekerti anak-anak didik, baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat, bukanlah dengan mengajarkan mereka dengan ayat, dalil, atau apa pun namanya. Menurut Barlow sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (role-modeling). Selanjutnya, menurut teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan merespons dan peniruan. Dan pembiasaan merespons tersebut melalui pemberian penghargaan dan hukuman.
Khusus di sekolah, pelaksanaan pendidikan budi pekerti dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan pengintegrasian serta pendekatan role-modeling dan imitasi. Pendekatan integratif ke dalam mata pelajaran yang memiliki pokok bahasan yang sesuai dengan dapat dilakukan melalui penambahan materi pada mata pelajaran yang dititipi dan atau melalui metode mengajar yang akan digunakan guru. Hanya saja, dalam pendekatan ini guru akan merasa mendapatkan tambahan beban. Sedangkan pendekatan kedua menekankan pada aspek keteladanan para guru. Semua guru di sekolah hendaknya menyadari bahwa dirinya bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik bagi siswanya. Para guru memiliki kewajiban moral yang melekat dengan profesi kependidikannya untuk memberikan keteladanan. Dengan begitu, para siswa tidak hanya mengenali budi pekerti seperti yang tercetak di dalam buku-buku pelajaran, tetapi mereka melihat langsung pada contoh yang terjadi di sekitarnya, yaitu dari kalangan para guru mereka.
Pilihan pada pendekatan pertama, berarti guru melaksanakan pendidikan budi pekerti melalui fungsi guru sebagai pengajar, sementara jika guru melaksanakan pendidikan budi pekerti melalui role-modeling, imitasi atau keteladanan, berarti guru melaksanakan pendidikan budi pekerti itu melalui fungsi guru sebagai pendidik.
Pola pendidikan budi pekerti yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sesuai tersebut lebih menjadi pilihan karena beberapa alasan, yaitu :
a. Budi pekerti merupakan perilaku bukan pengetahuan.
b. Beban kurikulum di SD, SLTP, SMU, dan SMK sudah sangat berat.
c. Pendidikan budi pekerti bukan tanggung jawab satu-dua guru pembina mata pelajaran saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
d. Sudah ada beberapa mata pelajaran yang dapat mengakomodasikan pemberian pendidikan budi pekerti tersebut.
Jadi dilihat dari sisi lingkungan belajarnya, yang utama dan terutama adalah dengan memberikan keteladanan yang terbaik, dengan perbuatan, perilaku orang tua, guru dan masyarakat. Anak-anak akan menirunya, kemudian sedikit demi sedikit diarahkan untuk lebih memberikan penghayatan melalui tindakan, diskusi, pemahaman, dan penyadaran.
Inilah beberapa faktor yang mempengaruhi pendidikan budi pekerti, yang secara garis besar merupakan upaya penanaman bukan pengajaran. Hal tersebut akan menjadikan pendidikan budi pekerti berhasil guna, terlebih jika masalah budi pekerti yang selama ini dikeluhkan ditanggulangi melalui gerakan terpadu orang tua, guru, dan masyarakat.

Rabu, 20 Januari 2010

Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Dasar

Dalam mengajar guru harus mengetahui tentang kriteria dalam menggunakan metode mengajar sehingga ia akan lebih mudah dalam memilih metode. Pemilihan metode mengajar ini disesuaikan dengan bahan pelajaran, situasi dan kondisi dan lainnya. Seorang guru yang menggunakan metode mengajar secara bervariasi hendaknya dapat mengajak siswa untuk terlibat aktif dalam belajar, sehingga siswa tersebut lebih mudah memahami pelejaran tersebut.
Metode mengajar memegang peranan penting dalam mencapai tujuan atau keberhasilan pengajaran. Seorang guru akan berhasil dalam tugas mengajar, bila dengan metode atau teknik yang digunakannya ia mampu memotivasi serta memancing daya dan gairah belajar murid-muridnya.
Menurut Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany dalam Falsafah Tarbiyah Al-Islamiyah mengungkapkan bahwa guru yang berjaya adalah yang menjadikan metode dan teknik pengajarannya sebagai pendorong bagi kegiatan murid-muridnya, dan menjadi penggerak bagi motivasi-motivasi dan kekuatan pengajaran yang terpendam pada diri murid-muridnya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan yang berhubungan dengan metode yaitu :
1. Metode hanyalah salah satu jalan atau cara yang digunakan oleh guru dalam mengajar dan bukan tujuan.
2. Tidak ada satu metode yang paling baik.
3. Metode yang sesuaipun belum menjamin hasil yang baik secara otomatis.
4. suatu metode yang baik bagi seorang guru belum tentu baik bagi guru lain.
Dengan demikian metode pengajaran bersifat dinamis, agar dapat memilih dan memakai metode yang tepat, harus selalu di adakan penelitian dan evaluasi secara terus menerus.
Faktor-faktor yang mendasari pemilihan dan penggunaan metode yaitu :
1. Metode sesuai dengan tujuan pengajaran.
2. Metode sesuai dengan jenis-jenis kegiatan yang tercakup dalam pengajaran.
3. Metode menarik perhatian murid.
4. Sesuai dengan kecakapan guru.12
Di samping itu ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penggunaan metode yaitu : tujuan intruksional, keadaan murid, situasi dan kondisi, fasilitas yang tersedia dan kebaikan atau kelemahan suatu metode.13
Metode berhubungan erat dengan tujuan pengajaran dan situasi pembelajaran, dalam pemilihan metode harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut :
1. Metode dapat membangkitkan motifasi, Minat dan gairah belajar murid.
2. Metode menjamin perkembangan kegiatan kepribadian murid.
3. Metode memberikan kesempatan bagi ekspresi yang kreatif bagi murid.
4. Metode merangsang keinginan murid belajar lebih lanjut.
5. Mendidik murid dalam teknik belajar sendiri.
6. Menanamkan nilai-nilai dan sikap utama.14

Beberapa metode pengajaran yang dimungkinkan dapat dipergunakan dalam pengajaran agama Islam yaitu : Metode ceramah, metode diskusi, metode resitasi ( pemberian tugas ), metode demonstrasi, metode kerja kelompok, metode sosiodrama, metode tanya jawab dan metode proyek.15 Beberapa metode tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan.
Metode yang sering digunakan dalam penyampaian materi pendidikan agama Islam antara lain :
1. Metode Ceramah
Metode ceramah ialah cara mengajar dengan penuturan secara lisan tentang suatu bahan pelajaran yang telah ditetapkan dan dapat menggunakan alat-alat pembantu seperti gambar, potret, barang tiruan, film dan sebagainya. Jelaslah bahwa pada metode ini aktifitas ditekankan pada guru, maka guru harus mampu memilih kata-kata sedemikian rupa sehingga dengan suara yang cukup terang dapat dimengerti dan menarik perhatian siswa. Adapun siswa dalam metode ini adalah pasif, mendengarkan dengan teliti dan mencatat agar dapat mengambil kesimpulan tanpa memikirkan bahwa ada masalah dalam pelajaran tersebut.6
a. Keunggulan metode ceramah
• Suasana kelas berjalan dengan tenang karena peserta didik melakukan aktifitas yang sama , sehingga pendidik dapat mengawasinya sekaligus
• Tidak membutuhkan tenaga banyak dan waktu yang lama, dengan waktu yang singkat peserta didik dapat menerima pelajaran sekaligus
• Pelajaran dapat dilaksanakan dengat cepat, karena dengan waktu yang singkat dapat diuraikan bahan yang banyak
• Organisasi kelas sangat sederhana karena tidak membutuhkan alat-alat yang begitu banyak
b. Kelemahan metode ceramah
• Guru tidak dapat mendapatkan kepastian daya serap siswa terhadap materi pelajaran.
• Dalam diri murid kemungkinan dapat berbentuk konsep-konsep lain dari kata-kata yang dimaksudkan.
• Murid cenderung pasif, sehingga sulit mengembangkan kecakapan guna mengeluarkan pendapatnya sendiri
• Murid sukar mengkonsentrasikan perhatian
Metode ceramah ini banyak digunakan oleh para Rasul dalam menyampaikan dakwahnya. Hal ini dapat kita lihat misalnya sebelum Nabi Musa as. Menjalankan misi dakwahnya, beliau berdo’a sebagaimana dalam surat Thaha ayat 25-28.
Yang Artinya : “Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku. Dan mudahkanlah untukku urusanku. Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka mengerti perkataanku “ ( Q.S.Thaha : 25-28 )

2.Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab ialah menyampaikan bahan pelajaran dengan jalan guru bertanya dan siswa menjawab pertanyaan guru. Pada umumnya metode ini sebagai selingan dalam proses belajar mengajar, dalam metode ini paling tidak ada dua hikmah, yaitu :
a. Memberikan kesempatan bertanya yang mengandung latihan keberanian bertanya.
b. Sebagai salah satu teknik untuk mengetahui keberhasilan proses belajar mengajar. Dengan demikian terbuka pintu jalur dua arah yaitu dari guru kepada siswa dan sebaliknya.
Metode tanya jawab adalah salah satu teknik untuk mengajar yang dapat membantu kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam metode ceramah. Guru dapat memperoleh gambaran sejauh mana siswa dapat mengerti dan dapat mengemukakan apa yang telah diceramahkan.
Melalui ceramah biasanya siswa kurang mencurahkan perhatiannya, tetapi mereka akan berhati-hati terhadap pelajaran yang diajarkan melalui metode tanya jawab sebab sewaktu-waktu mereka akan mendapat giliran untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru kepadanya.
Metode tanya jawab dapat dipakai oleh guru untuk menetapkan secara umum apakah siswa yang mendapatkan giliran untuk menjawab pertanyaan sudah dapat memahami materi pelajaran yang telah dipelajari. Metode tanya jawab mempunyai peranan sangat penting dalam proses belajar mengajar, pertanyaan yang tersusun teratur dan terarah dengan teknik pengajaran yang tepat akan dapat ;
a. Meningkatkan partisipasi murid dalam kegiatan belajar mengajar
b. Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu bagi murid terhadap masalah yang diberikan.
c. Mengembangkan pola berfikir dan belajar lebih aktif bagi murid.
d. Menentukan perhatian bagi murid terhadap masalah yang sudah dibahas.8
Sering kali metode mengajar yang digunakan tidak hanya melalui guru yang senantiasa berbicara, tetapi juga mencakup jawaban pertanyaan-pertanyaan yang menyumbang ide-ide dari pihak murid.9
Dengan melaksanakan metode tanya jawab, pertanyaan dapat diajukan oleh guru atau siswa, dengan kata lain guru bertanya siswa menjawab dan siswa bertanya guru menjawab. Metode tanya jawab mempunyai kelebihan dan kelemahan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Drs. Mansyur dalam buku Metodologi Pendidikan Agama, kelebihan metode tanya jawab yaitu :
a. Guru dengan segera dapat mengetahui materi pelajaran yang belum dikuasai oleh murid.
b. Baik sekali untuk melatih murid agar berani mengembangkan pendapatnya dengan lisan secara teratur.
c. Murid dapat menanyakan langsung kepada guru tentang bahan pelajaran yang sulit dikuasai
d. Suasana kelas akan hidup, karena aktif berpikir dan menyampaikan pikirannya dengan berbicara dan murid bertanya atau memberikan penjelasan.10

Adapun kelemahan metode tanya jawab antara lain sebagai berikut :
a. Waktu yang dipergunakan kadang-kadang tidak sesuai dengan hasil yang diperoleh, karena jika terjadi perbedaan pendapat akan lama menyelesaikannya.
b. Bisa menimbulkan penyimpangan pokok bahasan bila terjadi jawaban yang menarik perhatian tetapi bukan merupakan sasaran yang menjadi tujuan.
c. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dari beberapa aspek tidak menggambarkan keseluruhan.11

3. Metode Diskusi
Yaitu metode pengajaran melalui kegiatan kelompok dalam memecahkan masalah untuk mengambil kesimpulan. Dengan metode ini diharapkan keaktifan, kearifan serta kemampuan peserta didik dalam bertanya, komentar, saran serta jawaban yang dibawah koordinasi pengawasan pendidik melalui proses belajar mengajar guna mencapai tujuannya.
a. Keunggulan metode diskusi, yaitu :
• Suasana kelas akan hidup, sebab peserta didik mengarahkan pikirannya kepada masalah yang sedang didiskusikan
• Dapat menaikkan prestasi kepribadian individu seperti toleransi, demokratis, kritis, berfikir sistematis, sabar dan sebagainya
• Kesimpulan-kesimpulan diskusi mudah dipahami peserta didik, karena mereka mengikuti proses berfikir sebelum pada kesimpulan
• Melatih peserta didik untuk berfikir matang sebelum mengemukakan pikiran atau pendapatnya kepada umum.
b. Kelemahan metode diskusi, yaitu :
• Sering terdapat sebagian peserta didik tidak aktif
• Sulit menduga hasil yang akan dicapai karena waktunya terlampau banyak
• Sering sebagai adu kemampuan dan pelampiasan emosi personal atau kelompok, bila pendidik kurang menguasai masalahnya.
Dalam ajaran Islam banyak menunjukkan pentingnya metode diskusi dipergunakan dalam pendidikan agama sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 159 yang Artinya : “ ... dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan itu ....“ ( Q.S.Ali Imran : 159 )12
4. Metode Pemberian Tugas ( Resitasi )
Yaitu cara mengajar yang dicirikan oleh adanya kegiatan perencanaan antara siswa dengan guru mengenai suatu persoalan atau problema yang harus diselesaikan dan dikuasai oleh peserta didik dengan jangka waktu tertentu yang disepakati bersama antara peserta didik dengan pendidik.
a. Keunggulan metode penugasan yaitu :
• Siswa berkesempatan memupuk perkembangan dan keberanian mengambil inisiatif, bertanggung jawab dan berdiri sendiri.
• Baik sekali untuk mengisi waktu yang luang dengan masalah yang konstruktif .
• Memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dan bekerja dalam suasana yang merdeka dan demokratis
• Membiasakan siswa untuk belajar meskipun tanpa pengawasan.

b. Kelemahan metode penugasan, yaitu :
• Sering tugas yang diberikan oleh guru kepada siswa dikerjakan oleh orang lain sehingga siswa tidak tahu menahu tentang tugas tersebut.
• Apabila tugas tugas terlalu sering diberikan , ketenangan mental mereka akan terganggu
• Sukar memberikan tugas yang memenuhi dan sesuai dengan perbedaan masing-masing individu
• Sering sekali siswa menyalin atau meniru pekerjaan teman-temannya tanpa belajar.13

5. Metode Demontrasi
Yaitu suatu cara mengajar yang pada umumnya penjelasan verbal digantikan dengan suatu kerja fisik atau pengoperasian peralatan barang atau benda. Metode ini digunakan bila ingin memperlihatkan bagaimana sesuatu harus terjadi dengan cara yang paling baik.
a. Kelebihan metode demontrasi :
• Membantu siswa untuk memahami dengan jelas suatu proses dengan penuh perhatian
• Memudahkan berbagai jenis penjelasan
• Menghindari verbalisme
• Memberikan keterampilan tertentu
b. Kelemahan metode demontrasi :
• Membutuhkan waktu yang cukup banyak, sehingga mata pelajaran yang lain kemungkinan bisa terganggu
• Tidak efektif bila terbatasnya sarana
• Terlalu sering mengadakan bisa menghalangi proses berfikir dengan gaya abstraksinya
• Sukar dilaksanakan bila peserta didik tidak hadir sebagian.
Metode ini sering digunakan pada mata pelajaran pendidikan agama Islam dalam menerangkan atau menjelaskan tentang cara mengerjakan suatu ibadah seperti shalat, berwudhu, haji dan sebagainya.

Isu-Isu Pendidikan Dalam Mendorong Agenda Reformasi

1. Tujuan Persekolahan dan Ilmu Pendidikan yang Cocok

Pendidikan selalu menyeimbangkan beberapa tujuan yang berbeda dan sering juga tujuan yang saling bertabrakan, pertumbuhan dan perkembangan kepribadian siswa, orientasi sosial dan kewarganegaraan siswa, pengembangan siswa kejuruan dan berbagai jenis pengetahuan dan pemahaman tambahan yang mereka perlukan. Dengan begitu penyelenggara pendidikan tidak bisa dilihat sebagai bagian yang terpisah, atau hanya diisi sendiri di dalam masyarakatnya; penting bagi pendidikan untuk dipengaruhi, dan pada gilirannya mempengaruhi perkembangan di sektor ekonomi dan masyarakat secara luas. Dengan kemajuan teknologi yang pesat, perubahan sosial dan ekonomi abad kesembilan belas dan abad keduapuluh, pendefinisian ulang tujuan pendidikan, terutama wajib belajar dan yang disediakan oleh masyarakat telah menjadi isu penting, pokok, dan berkelanjutan. Isu-isu tersebut pertamakalinya dilibatkan dalam jalur utama yang ditempuh oleh gerakan progresif yang dimulai di Eropa Barat dan Amerika Utara pada tahun 1890-an.

Gerakan itu memperoleh inspirasi pertama-tama dari Herbart dan Froebel, dan kemudian dari Dewey, kepercayaan luas mengenai pemikiran progresif itu diperoleh karena mencari pendidikan yang cocok dengan masyarakat ilmiah dan industri baru yang muncul di seluruh dunia sebagai dampak dari teori Darwin dan revolusi industri. Jika kita tengah sedang menciptakan suatu masyarakat baru, kesanalah argumentasi diarahkan, pendidikan memainkan peranan penting dalam bagaimana anggota-anggota baru dilantik, kapasitas dan pemahaman seperti apa yang mereka perlukan untuk dikembangkan, orientasi-orientasi seperti apa mereka perlukan dalam bertindak secara cerdas, penuh perenungan, dan kreatif. Sehingga tujuan baru persekolahan dikembangkan dari profil siswa-siswa seperti apa yang akan dimunculkan, misalnya, ingin memunculkan anggota masyarakat yang kritis, kontruktif, penuh prakarsa dan mandiri, bersedia dan mampu bekerja sama dengan orang lain dalam membentuk masyarakat baru tersebut. Dengan demikian, persekolahan mempunyai tujuan sosial yang kuat – meminjam istilah Dewey, tampilan rekontruksionis sosial.

Segaris dengan tujuan baru persekolahan ini, ilmu pendidikan yang sesuai telah ditemukan, pengenaannya terutama sekali pada tilikan dari bidang pengembangan psikologi pendidikan yang terbaru dan didasarkan pada kebutuhan seluruh siswa. Walau sebagai gerakan progresivisme selalu ditumpas dan berkali-kali kandas, luasnya konsensus merupakan bukti yang jelas dalam menempatkan siswa, dan kepentingan serta kebutuhan siswa berada pada pusat proses-proses pendidikan. Berbagai pendekatan yang berbeda-beda terhadap implikasi praktis dari ide-ide tersebut di atas telah diterapkan di sekolah-sekolah progresif di beberapa negara Eropa dan Amerika Utara. Disebutkan bahwa sekolah-sekolah progresif tersebut disosialisasikan dengan tokoh seperti Dewey, Declory, Kerschensteiner, Montessori, Reddie dan Neil. Ketika sekolah-sekolah tersebut ditulis secara luas, didiskusikan dalam lingkaran akademis dan pada forum-forum seperti konferensi tentang Beasiswa Pendidikan Baru ( the New Education Fellowship ) dan pada Asosiasi Pendidkan Progresif ( the Progressive Education Association )

Pendekatan progresif baru pendidikan yang berpusat siswa ( student-centred ) membawa perubahan dramatis dalam manajemen dan organisasi kelas, hubungan guru - siswa dan bahan pelajaran. Pendekatan pendidikan, atau pengajaran tradisional yang berpusat pada guru ( teacher-centred ), merupakan pendekatan pengajaran ke seluruh kelas yang selama berabad-abad ditandai oleh formalitas, keteraturan, rancangan prosedur mengajar lebih lanjut, pemindahan informasi dari sumber-sumber terpercaya kepada siswa dan menekankan perhatian pada rancangan logis materi untuk dipelajari. Sebaliknya, pendekatan baru pendidikan yang memberi andil terhadap karakteristik-karakteristik tersebut, tetapi menekankan penyelidikan, aktivitas siswa, relevansi dan luasnya keragaman dari pertumbuhan siswa. Para pelopor pembaruan yang menggabungkan guru-guru inovatif, par aorang tua, dan akademis ( Cremin, 1961). Berangkat dari pendekatan formal, kelas-kelas yang relatif besar, yang lebih beragam, pendekatan informal dan aktif akhirnya dicari.

Tantangan terhadap pencarian untuk menciptakan pendidikan di seluruh pelosok negeri sebagai dasar suatu masyarakat baru sepanjang abad ini dihadapkan pada dua situasi berbeda : pertama-tama pada iklim revolusi di Uni Soviet dan China setelah pemerintahan Komunis memegang kekuasaan, dan sekali lagi dengan kejatuhan komunis di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur pada tahun 1990-an; dan yang kedua dalam usaha pembangunan beberapa negara yang baru saja merdeka dari kekuasaan kolonial.

Pada tahun 1920-an Uni Soviet yang baru terbentuk mengalami masa percobaan pendidikan yang penting dalam usaha membangun pendidikan umum menyeluruh yang dengan bangunan pendidikan yang menyeluruh itu masyarakat komunis yang baru akan berbeda sama sekali. Adalah sebuah masyarakat di mana tidak ada model sebelumnya dan, oleh karena itu, dalam situasi pendidikan seperti itu hanya ada sedikit saja petunjuk untuk itu ( W.F.Connel, 1980 ). Sebagaimana sebuah masyarakat terdidik yang dipandang sebagai kondisi yang diperlukan untuk membangun masyarakat baru , usaha serentak untuk memberantas tingkat buta huruf digalakkan yang secara serempak diarahkan pada populasi orang dewasa dan anak-anak usia sekolah.

Keputusan eksekutif pusat pada Oktober 1918 yang menguraikan suatu pola baru tentang pendidikan umum telah mencatat bahwa basis kehidupan sekolah ditemukan pada pekerjaan yang produktif dan aktivitas kolektif. Balai latihan kerja terpadu baru yang diwajibkan dan menyeluruh dilihat dalam konteks tradisi aktivitas sekolah yang progresif, yang menyelenggarakan pendekatan-pendekatan belajar aktif untuk tenaga industri dan pertanian yang diperlukan oleh masyarakat baru tersebut. Dengan memusatkan pada sekoah tekhnik ini, pendidikan Uni Soviet yang baru dirancang untuk menghasilkan suatu kurikulum yang akan menempatkan pekerjaan produktif pada pusatnya yang dan menyediakan peluang untuk para murid agar belajar dan mengalami berbagai jenis-jenis pekerjaan dan konsekwensi- konsekwensi sosial yang muncul dalam sebuah budaya proletar. Percobaan penting berikutnya, misalnya, mengintegrasikan keseluruhan kehidupan sekolah melalui pekerjaan produktif, membangun mata rantai sekolah dengan pabrik, merumuskan workshop sekolah, metode pembelajaran terpadu yang komplek dalam ranah ilmu-ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam, memodifikasi (‘kolektif’ terpusat ) versi Dalton Plan, yang dalam banyak hal aktivitas progresif gagasan pendidikan bisa dilihat. Pada eksperimen Shatsky selama tiga puluh tahun pada the Colony of the Cheerful Life ( 1905-34 ), misalnya pekerjaan produktif, metode kegiatan, swakelola masyarakat dan kurikulum yang kompleks di mana semuanya dipraktekkan dengan efektif. Tetapi pada sepuluh tahun pertama pemerintahan Uni Soviet , tidak ada persetujuan yang luas sebagai metode terbaik untuk mencapai keberhasilan tujuan baru yang dijangkau dan para penentang percobaan tersebut secara mendadak muncul pada tahun 1930-an dengan suatu perubahan kondisi politik internal. Dalam gerakan cepat pada versi pendidikan tradisional Eropa lama yang telah dimodifikasi, pendidikan tenaga kerja menjadi subordinat pendidikan umum, yang selanjutnya digabungkan dengan gagasan-gagasan Makarenko, pendidik Ukraina, seorang tokoh yang sepanjang tahun 1920-an hingga tahun 1930-an telah dengan seksama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang praktis pada masyarakat kolektif sekalipun penguasa beberapa sekolah koloni menolak anak-anak masyarakat tersebut.

Ayunan yang tiba-tiba ke arah pendidikan yang lebih tradisional disempurnakan melalui penetapan pada Rencana Lima Tahunan yang pertama pada tahun 1928, yang mana penetapan itu merupakan yang pertama kalinya di sepanjang sejarah pendidikan, yang diselaraskan dengan rencana ekonomi nasional dan pengembangan pendidikan. Dengan demikian pendidikan menjadi tunduk kepada kepentingan ekonomi dan kepentingan perencanaan tenaga kerja, dan mengajar sains dan matematika menjadi melangkah ke depan, di mana pada lima belas tahun pendidikan Soviet yang pertama menjadi sebuah contoh klasik dari masa transisi menuju revolusioner yang dimulai dengan suatu pemutusan yang radikal dengan masa lalu dan diakhiri dengan meneruskan kembali tradisi di dalam suatu format yang diubah.

Kita sekarang ini kembali rancangan situasi kedua di mana pengembangan masyarakat baru menjadi pusatnya. Bagi sejumlah negara-negara koloni yang penting sebelumnya, yang memperoleh kemerdekaan mereka di dalam suksesi yang berdekatan dengan tahun-tahun 1950-an hingga tahun 1960-an, tempaan identitas nasional yang kuat dan mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi menjadi tujuan kunci mereka. Pendidikan dilihat sebagai salah satu kunci yang berarti mencapai tujuan-tujuan tersebut, dan pendirian sekolah universal dan pemberantasan buta huruf ditargetkan sejumlah rencana pembangunan nasional lima tahunan. Ada keragaman penting dalam warisan pendidikan para penguasa kolonial, tetapi diantara warisan tersebut terdapat inti dari model sekolahan, sekalipun hanya terbatas dan tidak memadai. Di sub-Sahara Afrika , ketentuan pendidikan di zaman kolonial bagi penduduk pribumi jauh lebih rendah baik dalam mutu maupun jumlahnya, untuk itu anak-anak di negara kolonial Eropa, yang dicampur adukkan dengan mitos keunggulan ras kulit putih, diumumkan secara luas pada saat itu. Kebencian orang Afrika terhadap situasi tersebut mengambil - bagi kebanyakan orang - bentuk dengan mencari pendidikan “kebuku-bukuan” Barat yang sangat mendunia dengan maksud untuk memasuki dunia modern, menolak melalaikan tugas karena “rendahnya mutu” bahasa daerah yang digunakan dalam pendidikan, yang mana itu telah dibantah akan digunakan untuk membuat orang Afrika tetap tunduk. Sesungguhnya, hingga merdeka pemerintah-pemerintah tersebut mencari manfaat pendidikan untuk kebutuhan pembangunan nasional – mengelas negara-negara mereka yang baru itu ke dalam unit-unit politik, budaya, dan ekonomi yang efektif melalui pendidikan secara besar-besaran dan membuka pendidikan kejuruan yang tersebar luas. Para pemimpin baru menyadari perlunya perencanaan nasional yang saksama, menggemakan pengalaman Uni Soviet dalam perang Internasional selama bertahun-tahun . contoh temuan pada awal penilaian kembali terhadap tujuan pendidikan dipandang dari sudut pengalaman pada tahun-tahun pertama kemerdekaan di Afrika adalah konsep Nyerene tentang pendidikan untuk kepercayaan diri ( Education for Self-Reliance ) pada tahun 1967 yang tujuannya ingin menciptakan di dalam Republik Tanzania Serikat, suatu masyarakat sosialis yang didasarkan pada tiga prinsip; persamaan dan rasa hormat untuk martabat manusia, pembagian sumber daya yang diproduksi oleh usaha mereka sendiri, bekerja sama dengan semua orang dan tidak ada eksploitasi sama sekali (Nyerene, 1986,p.50 ). Pendidikan ditata ulang dan diorientasikan kembali pada dasarnya untuk melayani ( dan juga melanjutkan ) masyarakat pedesaan. Selagi otoritas di negara-negara selain Afrika tidak perlu menerima gagasan sosialis Nyerene dan menekankan pada pedesaan, semua negara tersebut mendapati diri mereka berusaha untuk menghubungkan pendidikan menjadi lebih dekat kepada kehidupan budaya dan ekonomi masyarakatnya.

Suatu pendekatan reformasi pendidikan yang multi-track dalam mengejar pembangunan nasional Republik Korea memberi contoh yang sangat baik. Ketika merdeka pada tahun 1945, kesempatan untuk memperoleh pendidikan terbatas hanya pada kelas sekelompok kecil masyarakat, kelas yang diistimewakan; bahasa korea tidak digunakan sebagai bahasa pengantar dalam mengajar, dan struktur pendidikan minim sekali. Undang-undang Pendidikan tahun 1945 meletakkan pondasi bagi sistem pendidikan nasional yang mencakup wajib pendidikan tingkat dasar dan memperluas kesempatan pendidikan tingkat menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan keguruan. Implementasi undang-undang tersebut disela oleh perang Korea dan digalakkan kembali ketika perang usai. Pada tahun 1959, 96 % anak-anak usia sekolah dasar masuk sekolah dan pada tahun 1960-an, enam tahun pendidikan dasar universal telah dicapai. Pada waktu yang sama, reformasi kurikulum diprioritaskan pada pendidikan kejuruan . total perubahan pelatihan guru diaktifkan pada tahun 1968, sebagai bagian dari rancangan reformasi yang baru. Dalam waktu kurang dari tiga dekade ( tidak termasuk tahun yang dihabiskan untuk perang ) sepanjang periode tahun 1945-1980, pendidikan di Republik Korea meluas secara dramatis, jumlah pendaftaran pada sekolah dasar berhasil mencapai 100 % dan tingkat menengah mencapai 90% , dan jumlah pendaftaran pada pendidikan tinggi dua kali lebih banyak, demikian juga pendaftaran pada pendidikan kejuruan.

Di luar fokus pendidikan yang sesuai dengan orang banyak masuyarakat nasional baru abad ke duapuluh telah menumbuhkan gerakan yang meusatkan diri pada pendidikan untuk masyarakat internasional dan global. Sampai saat ini hal ini belum merupakan suatu hal yang mengasyikkan sehingga dibiayai secara rasional dan menjadi sistem pendidikan diatur dengan baik, tetapi dalam jangka waktu yang panjang badan pendidik tertentu merasa terikat untuk menciptakan masyarakat internasional yang damai dan siapa yang telah membangun jaringan internasional antar siswa, para guru, prtugas administrasi, dan sekolah, dan sudah mengembangkan program-program pengajaran yang inovatif untuk kegunaan sekolah. Organisasi-organisasi intenasional, baik LSM maupun organisasi antar pemerintah, telah memainkan peran penting dalam mendukung dan melangsungkan usaha-usaha tersebut. Globalisasi yang berjalan dengan cepat sekali pada kehidupan akhir abad ke duapuluh, dari perdagangan dan industri menuju kesenangan, media dan komunikasi, secara radikal mengubah banyak aspek kehidupan sehari-hari banyak orang dan telah mendorong para pendidik untuk lebih meningkatkan penekanan pada lingkungan level dunia dan berbagai tantangan sosial, dan di luar suatu masa depan yang bisa mendukung.

Dibukanya perdebatan tentang tujuan pendidikan, dan ilmu pendidikan yang sesuai, menjadi dan tetap merupakan tantangan kunci bagi pendidikan yang diorganisir secara tradisional – suatu agenda subtansial bagi perubahan, perdebatan yang muncul dan tenggelam pada periode berbeda di sepanjang abad itu. Di akhir abad ke duapuluh gagasan yang diperdebatkan terutama sekali yang berkaitan dengan konteks tentang :

Ø Perubahan sifat pekerjaan dan berbagai peluang kerja, dan terutama tentang meluasnya sebaran dan tetap berlangsungnya pengangguran kaum muda.

Ø Ledakan pengetahuan di semua bidang ilmu yang terus berlanjut dan tantangan yang kerapkali muncul dari ketentuan-ketentuan sebelumnya

Ø Pencarian nilai-nilai budaya dan moral yang akan membantu menciptakan keseimbangan antara tanggung jawab sosial dan kebebasan individu, dalam rangka menghadapi meningkatnya budaya materialistis dan lingkungan ekonomi yang kompetitif.

Ø Dasar persekolahan dipandang sebagai suatu yang minimum penting untuk dapat berpartisipasi produktif di dalam peningkatan tingkat melek huruh yang didasarkan pada ekonomi dan lingkungan kerja di seluruh dunia.

Untuk di masa depan, kombinasi dengan peluang pembelajaran-pembelajaran baru yang disajikan oleh teknologi informasi, gagasan-gagasan tersebut bisa membentuk suatu kekuatan yang regeneratif bagi model persekolahan.

2. Pemerataan Pendidikan dan Akses

Di dalam kecenderungan sosial luas menuju demokratisasi sepanjang abad ini, pendidikan dilihat sebagai salah satu alat penting untuk memberi kesempatan yang sama dan merupakan sebuah proses menjadi lebih sadar politik. Hal ini diterjemahkan dalam bidang pendidikan pertama-tama agar terbuka akses kepada ketentuan tentang pendidikan, mendorong pertumbuhan yang masif melalui banyaknya sekolah dan menyebarluaskan, dan mewajibkan sekolah dasar dan sedikit menginjak sekolah menengah, biasanya umur 14 tahun, kemudian secara berangsur-angsur wajib belajar di negara-negara lain hingga umur 15 tahun, 16 tahun dan sekarang secara efektif menjadi umur 17 dan 18 tahun. Dukungan sosial yang luas muncul demi peningkatan jumlah dalam ketentuan dan gagasan tentang hak untuk memperoleh pendidikan muncul, yang tercantum secara formal dalam Hak Azasi Manusia yang universal itu.

Masyarakat persekolahan menekankan untuk memikirkan ulang isi dan organisasi pendidikan pada tingkat sekolah dasar dan menengah, dan kemudian juga pada level pendidikan tinggi. Dengan lebih banyaknya sekelompok anak seumur yang masuk ke dalam dunia persekolahan dan tinggal lebih lama, keberadaan organisasi yang secara akademis menitikberatkan pada pengkajian, yang selama ini dirancang agar cocok untuk para elit yang diistimewakan, terutama di sekolah menengah sudah tidak lagi sesuai. Dengan demikian sepanjang kebutuhan fisik untuk menyediakan lokasi sekolah yang lebih (gedung-gedung baru, guru yang cukup dan sumber daya melimpah) memunculkan pertanyaan untuk memikirkan kembali muatan pendidikan menengah yang sesuai dengan semua pihak. Di beberapa negara, diskusi tentang masalah ini paling tidak mengarah pertama-tama pada diferensiasi ketentuan pada pendidikan tingkat menengah, yakni tipe-tipe persekolahan yang berbeda telah diciptakan. Di Inggris misalnya, program studi linguistik, teknis dan ketentuan menengah modern sedikit banyak berbeda dengan program-program studi yang harus ditempuh. Namun perbedaan status antara masing-masing jenis ketetapan sangat jelas dan menekankan persamaan kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih besar (melalui para orang tua yang ingin agar anak-anak mereka memperoleh status pendidikan tinggi, yang dirancang hanya untuk melayani proporsi kecil kelompok usia, dan melalui para pendidik yang menganjurkan bahwa kasus itu untuk sekolah pada umumnya) yang didorong gerakan dibeberapa negara untuk sekolah-sekolah dengan masukan menyeluruh. Pertanyaan tentang program-program pengajaran apa yang sesuai dengan cakupan kemampuan siswa yang lengkap dalam sekolah-sekolah semacam itu kemudian diperlukan untuk dihadapi. Sedang negara-negara yang menunjukkan jalan bervariasi bagaimana mengarahkan hal ini, kriteria yang ada diteliti secara seksama mencakup keprihatinan-keprihatinan seperti relevansi dengan kehidupan masyarakat industri ( dan kemudian post-industri ), derajat orientasi kejuruan dan tingkat keluasan program-program yang harus ditunjukkan untuk semua para siswa pada umumnya.

Bagaimanapun menjadi jelas bahwa menyediakan fasilitas menyeluruh tidak dengan sendirinya menyamakan peluang pendidikan bagi seluruh masyarakat itu sendiri, baik diskriminasi maupun harapan dikenali sebagai faktor pembatas. Ini membawa ke suatu tepi yang kontroversial kepada isu persamaan kesempatan, dengan perubahan yang diarahkan pada diskriminasi positif dan mengarahkan anggota-anggota kelompok tertentu seperti anak-anak perempuan, minoritas etnis dari anak-anak keluarga miskin, yang selagi di dalam lingkup kemampuan normal, tampil lebih rendah dari pada pendidikan normal dan harapan karier. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan sendiri tidak bisa mengganti kerugian ketidaksamaan sosial yang kadang-kadang dengan enggan dikenali itu penting, tetapi perlu bagian yang ditarik untuk dimainkan.

Alam ketepatan untuk kelompok-kelompok minoritas berbeda ditumpahkan ke dalam pertanyaan tentang perubahan alami ketetapan untuk semua siswa di dalam area-area seperti “ mengharus-utamakan” ( mainstreaming ) para siswa yang mengidap berbagai cacat dan mengembangkan program-program pendidikan multikultural demi akomodasi masyarakat yang lebih baik terhadap kelompok-kelompok budaya dan etnis minoritas. Gerakan yang menyediakan pengajaran yang lebih dalam berbagai bahasa ibu, terutama untuk anak-anak usia sekolah dasar, selama ini ditandai lebih duapuluh tahun terakhir.

Solidaritas sosial, dalam mencari mana pendidikan dari yang telah dijalankan, harus diperluas dari sesuatu yang sebagian besar sentimentil dan emosional, kepada reformasi hubungan sosial dan kondisi-kondisi kehidupan yang praktis. Dengan demikian pendidikan menjadi tak terelakkan dilibatkan di dalam program reformasi sosial secara umum ( W.F.Connel, 1980, p.91 )

Isu reformasi sosial yang lebih luas ini, bagaimanapun dan dimanapun juga tidak memecahkan dan tidak memberi inspirasi para pembaharu pendidikan yang secara tak terhindarkan akan tinggal tetap gagal sepanjang negara-negara tersebut tidak mampu, atau enggan mengejar agenda yang didasarkan pada kesamaan hak dan perbaikan sosial.

3. Kualitas Pendidikan, Pembiayaan dan Akuntabilitas

Sementara para pendidik selama ini selalu prihatin dengan outcome siswa atau apa yang sudah dipelajari para siswa, suatu keprihatinan besar mengenai mutu pendidikan telah muncul pada tahun-tahun terakhir. Dengan sistem pendidikan yang mendaftarkan lebih dari masing-masing sekelompok anak seusia dan siswa yang tetap tinggal lebih panjang di sekolah, sistem pendidikan harus menjadi persoalan pokok untuk pendanaan publik, suatu pendanaan yang terus meningkat di bawah tekanan kebutuhan yang bersaing dan di bawah penelitian cermat dari para pengawas ( watcdog ) belanja pengeluaran publik. Unsur nilai untuk uang ( value for money ) yang kuat ditandai oleh isu kualitas, sepanjang perhatian lebih besar diberikan demi kebaikan sosial bukannya individu. Dengan isu keadilan, perdebatan tentang mutu pasti berpengaruh penting pada mempolitikkan pendidikan.

Perubahan yang diperoleh dari isu tentang kualitas selama ini difokuskan pada pelurusan fungsi sistem pendidikan, pada rancangan standar prestasi, pada pencapaian efisiensi, pada perhatian untuk mengukur ( dan sering juga menstandardisasi ) apa yang dipelajari oleh siswa di sekolah ( yang sering kali dalam usaha untuk menyerang apa yang dianggap sebagai kegagalan sekolah ) dan pada peningkatan efektivitas guru. Di mana kebebasan yang lebih besar untuk pengambilan keputusan diberikan ( seperti pada tingkat sekolah yang mengikuti desentralisasi ), gerak dan struktur demi akuntabilitas haruslah diikuti.

Pada isu tentang apa yang dimaksud dengan kualitas dalam hubungannya dengan pendidikan ( berkualitas buat siapa dan tentang apa ) dan apakah proses yang diusulkan untuk membantu perkembangannya benar-benar mendukungnya, atau telah terbukti counter-productive, terutama mengenai profesionalisme guru. Isu kualitas tetap problematis . pertanyaan masih menjadi perdebatan adalah apakah rata-rata yang diadopsi untuk mengukur dan maningkatkan mutu akan sungguh-sungguh mencapai hasil yang diinginkan dan sedemikian rupa tanpa memaksakan batasan-batasan baru yang fantastis dan biaya-biaya yang memberatkan. Keinginan untuk meningkatkan mutu disetujui secara luas, tetapi bagaimana cara terbaik untuk melakukannya ? tergantung pada banyak faktor, beberapa diantara faktor yang sangat spesifik tidak hanya ada pada negara-negara itu sendiri tetapi juga pada aspek tertentu dari sistem itu sendiri.